Lupa
Kalau Berangkat dengan Suami
Sudah tua, penyakit lupa biasanya memang suka
menyergap. Tapi, kalau lupa dengan suami saat berpergian, bisa berabe. Salah-salah, suami bisa ilang
beneran.
Hubungan suami istri Cong Kenek dengan
Yu Tub sudah tiga puluh lima tahun berjalan. Masa-masa romantis sudah tidak
lagi ada. Anak pun sudah tiga, dan cucu satu. Hidupnya kini datar-datar saja
tanpa ada warna.
Apalagi semua anaknya sudah jarang di
rumah. Anak pertama dan kedua sudah menikah, sedangkan anaknya yang ketiga
masih kuliah di kota tetangga, Jember. Tidak ada lagi yang menghibur mereka
dalam hari-harinya. Mungkin hanya pekerjaan Cong Kenek saja yang membuatnya
masih mau bergerak, sebagai tukang jahit berusia, 55 tahun.
Yu Tub juga tidak berbeda jauh dengan
Cong Kenek. Mereka dulunya dipertemukan oleh keahlian yang sama, yaitu tukang
jahit. Antara tukang jahit, pada
waktu mereka muda, saling bantu ketika ada pesanan, dan saling mengarahkan
kalau pas ada pelanggan yang tidak lagi bisa diatasi sendiri.
Berawal dari situlah Cong Kenek dan Yu
Tub saling memadu kasih. Masa muda mereka habiskan dengan penuh romantisme.
Segala macam kelakar dan guyonan
mungkin sudah habis waktu mereka belum mendapatkan seorang anak. Buktinya, kini
mereka tidak lagi punya guyonan,
malah terkesan saling melupakan.
Suatu hari Cong Kenek dan Yu Tub ingin
mengunjungi anak-anak mereka di kota tetangga itu. Cong Kenek merasa sangat
rindu dengan anaknya yang paling bungsu. Karena Cong Kenek merasa, anaknya yang
paling bungsu, yaitu Sri, mirip sekali dengan Yu Tub sewaktu masih muda. Penuh
dengan canda, dan selalu membuat orang di sekitarnya ceria. Apalagi paras
cantik Sri yang menurutnya bisa membuat hati Cong Kenek bangga.
Berangkatlah Cong Kenek dan Yu Tub
bersama dengan naik bus. Karena kebetulan sepeda mereka satu-satunya dibawa
oleh Sri kuliah. “Akeh acara teng kampus
pak, tak beto nggih?” kata Sri waktu meminta izin ke Cong Kenek. Ya mau
tidak mau Cong Kenek mengizinkan. Toh, sebenarnya Cong Kenek tidak begitu
membutuhkan sepedanya.
Cong Kenek dan Yu Tub tidak berjalan
bergandengan. Malahan Cong Kenek berjalan jauh di depan Yu Tub. Saat naik bus
pun, Cong Kenek tidak sedikitpun melirik Yu Tub. Dan di atas bus, keduanya
duduk terpisah. Cong Kenek jauh di depan, sedangkan Yu Tub di belakang. “Halah iyo wes pak,” batin Yu Tub yang
cuek.
Saat dimintai tiket bus, Cong Kenek
menunjuk ke arah Yu Tub. “Ndek buri mas.
Kae lho sing nggowo kudung abang,” kata Cong Kenek ke kondektur.
Yu Tub pun sudah paham dengan itu.
Biasanya juga seperti itu. Karena yang memegang semua keuangan adalah Yu Tub.
Termasuk biaya kuliah untuk Sri.
Saat bus sudah sampai di tempat tujuan,
Cong kenek tertidur. Yu Tub juga kaget, karena sewaktu diteriaki kondektur, dia
baru bangun. Yu Tub pun langsung saja turun, tanpa menunggu suaminya, Cong
Kenek.
Yu Tub berjalan sendirian ke rumah anaknya yang kedua, Yu Nah.
Dia bertemu dengan Sri dan Yu Nah, yang sudah menunggu kedua orang tuanya itu.
Sri pun sumringah melihat ibunya
datang membawa oleh-oleh dari rumah. “Lho
kok dewean buk? Bapak pundi?” tanya Sri.
Yu Tub malah menjawab seolah-olah dia
memang berangkat sendirian. “Lha kan
pancen dewean,” kata Yu Tub.
Sri kebingungan mendengar jawaban
ibunya itu. Padahal sebelum kedua orang tuanya itu berangkat, jelas sekali
ibunya menelepon Sri akan berangkat dengan bapaknya, yaitu Cong Kenek. “Lho jare bareng bapak mau?” tanya Sri
memastikan.
Yu Tub terlihat agak berpikir keras.
Kemudian dia menepuk kepalanya sendiri. “Lah
iyo, aku mau kan karo bojoku yo? Lho endi bojoku iki? Waduuh,” kata Yu Tub.
Yu Tub pun menceritakan kepada anaknya
itu kalau mereka berdua tidak satu tempat duduk. Cong Kenek di depan, sedangkan
Yu Tub di belakang. “Waduh piye iki Sri?
Bapakmu ora nggowo hape pisan,” kata Yu Tub bingung.
Sri dan Yu Nah pun kemudian mencari Cong Kenek di terminal. Mereka mutar-muter dengan sepedanya, tapi
tidak ketemu. Ke rumah pakdenya, juga tidak ada. “Lah yo wes lah. Ayo balik wae enteni nang omah wae,” kata Yu Nah.
Sementara itu, Cong Kenek ternyata
sedang berjalan menuju rumah Yu Nah. Yu Tub melihat Cong Kenek tepat di halaman
rumah Yu Nah. “Heh! Teko ngendi pak?”
tanya Yu Tub.
“Keturon
aku mau,” kata Cong Kenek datar. Tidak ada yang dipermasalahkan. Dan tidak
ada yang diperdebatkan oleh Cong Kenek dan Yu Tub. Peristiwa itu menjadi hal
yang wajar bagi mereka berdua. Tapi saat Sri datang, rumah Yu Nah jadi rame. “Lha piye kok bapak dilalekno iki buk?”
kata Sri.
Cong Kenek menimpali sebelum Yu Tub
menjawab. “Lha wes tuwek ngene, yo lalian
nduk,” katanya. (ras)
Berangkat Bareng tapi Merasa Sendirian
***
Tulisan ini dari mas Dian Teguh Wahyu Hidayat. katanya,
terinspirasi dari cerita keluarga saya dirumah. Tulisan ini juga dimuat di
salah satu koran yang tak jauh dari rumah. hahaha, terimakasih sudah
dibuat tulisan ya mas. Ya, meskipun kata emak saya ini gak terlalu sama dengan
cerita aslinya. Tapi, lumayan bikin emak ketawa
sendiri. :)