Kamis, 01 Oktober 2015

Grogi,


Bulan September lewat sudah.

Kini berganti dengan bulan Oktober. Bulan ini ada yang baru dari rutinitas keseharianku. Bulan ini aku grogi. Amat grogi. Banyak hal baru muncul. Termasuk kamu, kamu selalu saja baru di tiap bulan ku.

Awal Oktober adalah hari pertama saya mencoba untuk bekerja. Bekerja disalah satu cafe yang sudah aku kenal cukup lama. tujuan aku bekerja sebenarnya adalah karena aku butuh uang. Uang beasiswa ku sedang tak lancar, serta uang kos yang masih belum sanggup aku bayar. Walapun, mungkin jika aku sedikit lebih sabar dan lebih memelas sedikit, tentu Bapak akan memberikanku uang. Tentu uang dari Bapak itu, aku anggap uang pinjaman. Selain alasan klise ala mahaiswa tadi, aku juga butuh uang untuk jaga-jaga jika nanti aku tak lulus empat tahun. Beasiswaku sudah tak menjamin jika aku nakal, lewat batas delapan semester.

Sebenarnya, Ibu dirumah tidak tahu jika aku bekerja. Jikalau beliau tahu, urusan pasti bakal runyam. Bukan karena aku bekerja, tapi pekerjaanku yang menuntut pulang malam. Untung saja Ibu tak punya blog, twitter, facebook atau BBM. Ibuku bukan tipikal ibu-ibu metropolis. Hape jadul tempo dulu ternyata sudah cukup membuat beliau tersenyum bahagia, walaupun sesekali beliau juga marah, karena tak ada gunanya punya Hape jika anak-anaknya yang beda kabupaten dengannya jarang sekali memberi kabar. Ngirim sms.

Bulan Oktober, adalah bulan buat aku untuk belajar bagaimana caranya membagi waktu. Waktu-ku yang hanya 24 jam. 24 jam yang terlihat sangat cepat jika ditinggal tidur seharian, dan terlihat sangat lambat jika digunakan untuk nunggu kamu. Tentu, bulan oktober berbeda dengan dua bulan sebelumnya. Kalau yang ini, kamu pasti paham.

Bekerja ternyata tak semudah yang dilihat, tak segampang ngupil. Aku grogi. Aku grogi jika nanti aku tak bisa melakukannya dengan maksimal. Aku grogi jika nanti Ibu tahu. Aku grogi aku tak cukup mampu bekerja. Aku grogi jika mereka kecewa.

Ah, mental ku ini kok lemah ya.

Udah ah, aku grogi untuk nulis lagi. Biarlah, hari minggu nanti aku lampiaskan saja semua padamu.



Jumat, 25 September 2015

Apes,


Saya tak tahu apakah harus bersyukur atau mengeluh. Pagi itu, saya berencana berangkat ke Jember menggunakan Bus. Sialnya, hampir satu jam menunggu, bus tak juga muncul. Tak berapa lama, tiba-tiba ada mobil kijang berhenti di depan saya. Bapak berumuran 50-an muncul menawarkan tumpangan. Ini gratis, pikir saya. Jelas saja, saya senang. Bagaimana tidak? Uang saya tinggal dua puluh ribu rupiah. saya sudah membayangkan bahwa tiga hari kedepan saya masih bisa makan.

Didalam mobil, terdapat kurang lebih empat mahasiswa. Saya duduk dibelakang sendiri. Sekedar basa-basi dengan teman sebelah saya, ternyata dia salah satu teman akrab sahabat saya di rumah, Nesa.Kami mulai mengobrol. Kemudian, saya menyinggung masalah biaya kendaraan yang sedang kami tumpangi. Tentu saja saya menanyakannya dengan mengetiknya melalui pesan teks via handphone. Ternyata, perempuan yang duduk disebelah saya itu, juga tak tahu menahu mengenai biaya tumpangan. Katanya, pokoknya ini ndak gratis mbak.

Mampus.

Saya langsung diam. Ah, mungkin tak lebih dari dua puluh ribu pikir saya. Lha wong, naik bus aja Cuma lima belas ribu dari rumah.

Sampai terminal pakusari bapak berumuran 50-an itu berhenti disalah satu toko 24 jam. Ah, mumpung si sopir lagi keluar saya memberanikan diri bertanya biaya yang di patok pada perempuan yang duduk didepan saya.

 Dua puluh lima ribu mbak, katanya.

Jedyer.

Otomatis saya panik. Uang saya Cuma dua puluh ribu rupiah. minus lima ribu rupiah. saya bingung, saya melirik perempuan yang duduk disebelah saya. Dengan memberanikan diri, dan membuang rasa malu jauh-jauh,

Boleh pinjam uang lima ribu rupiah gak mbak?uang ku pas mbak, dua puluh ribu.

Perempuan di sebelah saya itu tersenyum,

gak usah pinjem mbak, turun di unmuh aja bareng saya, biar bayarnya bareng, kali aja mbaknya gak dua puluh lima.

Oke deh, kata saya. Selanjutnya saya memberikan uang dua puluh ribu saya kepada perempuan disebelah saya.

Sesampainya di Unmuh, bapak sopir 50-an itu membukakan pintu.

Dua orang pak, berapa? kata perempuan disebelah saya.

Lima puluh mbak,

Jeglek

Perempuan disebelah saya menyodorkan uang lima puluhan nya.

Pas ya pak.

Enggeh. Matur nuwun.

Matur nuwun, endasmu pak. Batin saya dalam.

Kemudian saya meminta nomor hanphone perempuan itu, saya janji sepulang nanti saya bakal ganti. Saya sangat malu.

Gak usah mbaknya, kan udah temen.

Kalimat terakhirnya membuat saya terpana. Bagaimana mungkin, dia menganggap saya teman? Padahal kenal saja baru tadi di mobil. Saya ucapkan terimakasih, tapi tetap saja saya harus tahu nomor handphonenya. Saya harus ganti.

Sebelum perempuan itu pergi, dia menawarkan untuk menunggu teman yang menjemput saya di kosnya. Saya menolak. Karena saya tahu, teman yang mau menjemput saya tak bakal datang.

Setelah itu, saya jalan kaki dari Unmuh sampai kampus.

Sambil mengumpat dalam hati,

Apes tenan!

Selasa, 15 September 2015

Cong Kenek


Lupa Kalau Berangkat dengan Suami

Sudah tua, penyakit lupa biasanya memang suka menyergap. Tapi, kalau lupa dengan suami saat berpergian, bisa berabe. Salah-salah, suami bisa ilang beneran.

Hubungan suami istri Cong Kenek dengan Yu Tub sudah tiga puluh lima tahun berjalan. Masa-masa romantis sudah tidak lagi ada. Anak pun sudah tiga, dan cucu satu. Hidupnya kini datar-datar saja tanpa ada warna.

Apalagi semua anaknya sudah jarang di rumah. Anak pertama dan kedua sudah menikah, sedangkan anaknya yang ketiga masih kuliah di kota tetangga, Jember. Tidak ada lagi yang menghibur mereka dalam hari-harinya. Mungkin hanya pekerjaan Cong Kenek saja yang membuatnya masih mau bergerak, sebagai tukang jahit berusia, 55 tahun.

Yu Tub juga tidak berbeda jauh dengan Cong Kenek. Mereka dulunya dipertemukan oleh keahlian yang sama, yaitu tukang jahit. Antara tukang jahit, pada waktu mereka muda, saling bantu ketika ada pesanan, dan saling mengarahkan kalau pas ada pelanggan yang tidak lagi bisa diatasi sendiri.

Berawal dari situlah Cong Kenek dan Yu Tub saling memadu kasih. Masa muda mereka habiskan dengan penuh romantisme. Segala macam kelakar dan guyonan mungkin sudah habis waktu mereka belum mendapatkan seorang anak. Buktinya, kini mereka tidak lagi punya guyonan, malah terkesan saling melupakan.

Suatu hari Cong Kenek dan Yu Tub ingin mengunjungi anak-anak mereka di kota tetangga itu. Cong Kenek merasa sangat rindu dengan anaknya yang paling bungsu. Karena Cong Kenek merasa, anaknya yang paling bungsu, yaitu Sri, mirip sekali dengan Yu Tub sewaktu masih muda. Penuh dengan canda, dan selalu membuat orang di sekitarnya ceria. Apalagi paras cantik Sri yang menurutnya bisa membuat hati Cong Kenek bangga.

Berangkatlah Cong Kenek dan Yu Tub bersama dengan naik bus. Karena kebetulan sepeda mereka satu-satunya dibawa oleh Sri kuliah. “Akeh acara teng kampus pak, tak beto nggih?” kata Sri waktu meminta izin ke Cong Kenek. Ya mau tidak mau Cong Kenek mengizinkan. Toh, sebenarnya Cong Kenek tidak begitu membutuhkan sepedanya.

Cong Kenek dan Yu Tub tidak berjalan bergandengan. Malahan Cong Kenek berjalan jauh di depan Yu Tub. Saat naik bus pun, Cong Kenek tidak sedikitpun melirik Yu Tub. Dan di atas bus, keduanya duduk terpisah. Cong Kenek jauh di depan, sedangkan Yu Tub di belakang. “Halah iyo wes pak,” batin Yu Tub yang cuek.

Saat dimintai tiket bus, Cong Kenek menunjuk ke arah Yu Tub. “Ndek buri mas. Kae lho sing nggowo kudung abang,” kata Cong Kenek ke kondektur.

Yu Tub pun sudah paham dengan itu. Biasanya juga seperti itu. Karena yang memegang semua keuangan adalah Yu Tub. Termasuk biaya kuliah untuk Sri.

Saat bus sudah sampai di tempat tujuan, Cong kenek tertidur. Yu Tub juga kaget, karena sewaktu diteriaki kondektur, dia baru bangun. Yu Tub pun langsung saja turun, tanpa menunggu suaminya, Cong Kenek.

Yu Tub berjalan sendirian ke rumah anaknya yang kedua, Yu Nah. Dia bertemu dengan Sri dan Yu Nah, yang sudah menunggu kedua orang tuanya itu. Sri pun sumringah melihat ibunya datang membawa oleh-oleh dari rumah. “Lho kok dewean buk? Bapak pundi?” tanya Sri.

Yu Tub malah menjawab seolah-olah dia memang berangkat sendirian. “Lha kan pancen dewean,” kata Yu Tub.

Sri kebingungan mendengar jawaban ibunya itu. Padahal sebelum kedua orang tuanya itu berangkat, jelas sekali ibunya menelepon Sri akan berangkat dengan bapaknya, yaitu Cong Kenek. “Lho jare bareng bapak mau?” tanya Sri memastikan.

Yu Tub terlihat agak berpikir keras. Kemudian dia menepuk kepalanya sendiri. “Lah iyo, aku mau kan karo bojoku yo? Lho endi bojoku iki? Waduuh,” kata Yu Tub.

Yu Tub pun menceritakan kepada anaknya itu kalau mereka berdua tidak satu tempat duduk. Cong Kenek di depan, sedangkan Yu Tub di belakang. “Waduh piye iki Sri? Bapakmu ora nggowo hape pisan,” kata Yu Tub bingung.

Sri dan Yu Nah  pun kemudian mencari Cong Kenek di terminal. Mereka mutar-muter dengan sepedanya, tapi tidak ketemu. Ke rumah pakdenya, juga tidak ada. “Lah yo wes lah. Ayo balik wae enteni nang omah wae,” kata Yu Nah.

Sementara itu, Cong Kenek ternyata sedang berjalan menuju rumah Yu Nah. Yu Tub melihat Cong Kenek tepat di halaman rumah Yu Nah. “Heh! Teko ngendi pak?” tanya Yu Tub.

Keturon aku mau,” kata Cong Kenek datar. Tidak ada yang dipermasalahkan. Dan tidak ada yang diperdebatkan oleh Cong Kenek dan Yu Tub. Peristiwa itu menjadi hal yang wajar bagi mereka berdua. Tapi saat Sri datang, rumah Yu Nah jadi rame. “Lha piye kok bapak dilalekno iki buk?” kata Sri.

Cong Kenek menimpali sebelum Yu Tub menjawab. “Lha wes tuwek ngene, yo lalian nduk,” katanya. (ras)

Berangkat Bareng tapi Merasa Sendirian

***

Tulisan ini dari mas Dian Teguh Wahyu Hidayat. katanya, terinspirasi dari cerita keluarga saya dirumah. Tulisan ini juga dimuat di salah satu koran yang tak jauh dari rumah. hahaha, terimakasih sudah dibuat tulisan ya mas. Ya, meskipun kata emak saya ini gak terlalu sama dengan cerita aslinya. Tapi, lumayan bikin emak ketawa sendiri. :) 

Sabtu, 28 Maret 2015

Ucapan yang Terlambat

Saya tak tahu teman macam apa saya ini. Bayangkan, setiap kamu berulang tahun saya sama sekali tak pernah memberikan kado yang pantas. Buru-buru yang pantas, kasih aja enggak. Mungkin kamu bosan mendengarnya. Alasan yang saya berikan terlalu klise. Setiap tahun, setiap mendekati hari ulang tahun mu. saya selalu memikirkan kado macam apa yang cocok untukmu. Terlalu banyak hal yang ada di dalam pikiran saya sehingga hadiah hanya berupa angan.

Saya yakin, keluargamu telah memberikan hadiah yang lebih dari cukup. Belum lagi teman-temanmu yang lain, hadiah macam kue tart plus kejutan-kejutannya tentu saja sudah menghiasi wajahmu hari ini. profil picture-mu di salah satu aplikasi komunikasi modern sudah  menjelaskannya.

Apa yang bisa saya berikan pada ulang tahunmu kali ini? saya benar-benar tidak tahu. saya terlalu banyak janji. Yang berakhir di tempat sampah karena selalu tak jadi. Saya tak punya apa-apa. Saya bukan sahabat best ever. Kita hanyalah dua orang yang tidak sengaja bertemu. Kita hanyalah dua orang yang terkadang memiliki pemikiran, pemahaman yang sama dalam beberapa hal dalam menyikapi suatu yang tak rumit namun terkesan dirumit-rumitkan.

Lalu, bagaimana dengan Doa? Ah, sekali lagi orangtuamu lebih hebat dalam hal ini. mereka mempunyai doa yang sangat tulus untukmu. Doa dari orang-orang yang mencintaimu tentu sudah lebih dari cukup untuk membuat salah satu impian besarmu terwujud. doa yang saya berikan terlalu murah. Tak sebanding. Saya juga bukan nabi, yang dengan sekali ucap permohanan dapat dikabulkan. Saya hanya manusia angkuh dan sombong. Tak sempurna. Jadi mohon, jangan meminta saya untuk mendoakanmu.

Karena saya tahu, saya tak mampu memberikan apa-apa padamu. Di hari ulang tahunmu ini, Ijinkan saya, meminta sesuatu: berusahalah mewujudkan doa-doa yang mereka ucapkan padamu. Buatlah doa-doa yang mereka panjatkan terkabul. Berusahalah. Kamu sudah umur 21 tahun. Tentu bukan angka yang sedikit lagi. Mengingat semakin dekat juga dirimu dengan tanah. Ulang tahun bukan sesuatu yang patut dibanggakan, sayang. Dengan umurmu yang semakin menipis berusahalah membuat doa-doa itu terkabul. Karena kamu sendiri yang menjalankan hidupmu. Bukan orangtuamu, bukan temanmu, pacar, apalagi saya.

Saat kamu merasa sendiri dan terpuruk, ingatlah, kamu bisa sesekali mempergunakan saya. Yah, setidaknya saya bisa berguna untuk orang lain. Peh, saya tidak melulu dibelakangmu, didepan atau disampingmu. Maka, jika kamu membutuhkan saya kamu hanya perlu katakan, “cuk, nang ndi koen?” 

Jumat, 27 Maret 2015

Mahasiswa, Agent of Silence!



"Mungkin semua itu terjadi karena penyesalan yang begitu dalam atas pembunuhan yang dia lakukan pada waktu itu. Karena rasa penyesalan yang begitu dalam, saat memperagakan pembunuhan itu, (mereka) seperti mati rasa," ujar Adi


Begitu kiranya kalimat yang keluar dari mulut Adik Ramli, Adi, yang saya tangkap saat menonton film karangan Joshua Oppenheimer kemarin malam. Sebenarnya sudah kedua kalinya saya menonton film Senyap (The Look of Silence). Tapi, sengaja saya menonton sekali lagi karena saya tak sempat merangkum nya menjadi tulisan.


Film ini menceritakan tentang usaha Adi, si Tukang kacamata keliling dalam mengungkap sejarah tentang pembantaian simpatisan PKI. Adi adalah adik dari Ramli, salah satu korban pembantaian 1965-1966 di salah satu desa perkebunan terpencil di Sumatera Utara. Lahir pasca pembantaian 1965-1966, Adi tumbuh dalam keluarga yang secara resmi dinyatakan "tidak bersih lingkungan" karena kakaknya, Ramli, dianggap simpatisan PKI. Bersama Adi, Oppenheimer mengumpulkan para korban dan penyintas pembantaian 1965-1966, mendokumentasikan kesaksian mereka tentang sejarah pahit itu.


Banyak hal sebenarnya yang masih belum terungkap dalam film tersebut dan masih banyak hal yang membuat saya bertanya-tanya. Siapa sebenarnya Joshua Oppenheimer? Siapa yang berada dibalik pembuatan dan penayangan film Senyap? Apa tujuan mereka? Amankah Adi sekeluarga? Ah, tentu saja jika hal ini dibahas bakal terlalu jauh.


Dari film ini saya menjadi teringat akan hal yang hampir sama persis dengan apa yang saat ini kita alami. Kita? Iya, para mahasiswa yang merasakan perasaan yang sama dengan saya tentunya. Secara tak sadar kita sebagai mahasiswa saat ini seakan di Senyap kan. Mulut dan mata kita dibungkam. Tak percaya? Lihat saja sekarang, peraturan-peraturan yang dibuat oleh orang-orang yang menganggap dirinya sebagai orang tua dilaksanakan secara sepihak. Mereka selalu berdalih bahwa kebijakan murni untuk kebaikan kita, mahasiswa. Beranggapan bahwa kita adalah anak-anak mereka. Mulai dari pembatasan jam malam. Penggunaan gedung Kegiatan mahasiswa di hari Sabtu dan Minggu dibatasi. Sekret hanya digunakan untuk kantor. Dan dana kegiatan mahasiswa dipotong besar-besaran.


 Sedangkan kita? Disibukkan dengan dunia akademis yang akhirnya membuat kita lalai dan melupakan hal-hal sekitar. Yang secara tidak sadar sebenarnya menciptakan kita sebagai mesin produksi. Kita yang diiming-imingi bahwa patuh dan taat akan selalu menuju sebuah kesuksesan besar. 


Mahasiswa adalah agent of change, kata dosen. Mahasiswa adalah agent of control, kata kakak-kakak ospek kemarin. Hal ini tak lebih dari slogan, umbul-umbul, janji palsu yang ditawarkan untuk meningkatkan kepopuleran, menarik masa. Faktanya, manusia yang meneriakkan panji-panji macam itu saat ini tak bisa berbuat apa-apa. Menyerah karena takut tak cepat lulus jika membangkang. 


Hampir sama persis dengan apa yang dikatakan oleh adi di Film itu, “Mungkin semua itu terjadi karena penyesalan yang begitu dalam atas pembunuhan yang dia lakukan pada waktu itu. Karena rasa penyesalan yang begitu dalam, saat memperagakan pembunuhan itu, (mereka) seperti mati rasa”. Iya, benar. Mungkin mereka yang mengganggap dirinya orangtua merasa bersalah karena belum mampu menjadi orang tua yang baik bagi kita. Mereka paham bahwa kebijakan yang mereka tawarkan mengkebiri kreatifitas kita sebagai mahasiswa dan peraturan yang mereka terapkan selalu sepihak. Padahal mereka sendirilah yang mengatakan bahwa Negara kecil ini menerapkan sistem Demokrasi. Mungkin hal tersebut menjadi sebuah penyesalan yang sangat dalam, sehingga saat ini mereka (yang selalu mengklaim dirinya adalah orang tua) mati rasa!  


            “Jika mata dan mulut kita dibungkam maka pena yang berbicara!” (saya lupa kalimat ini milik siapa, hehehe)

Selasa, 17 Februari 2015

Hai Su!


 “Suopel, sunita, subebek, dedisu, yunus = asu!” teriaknya. Dulu kami sering mengobrol, berkumpul bersama. Ukm hanya tempat bernaung. Kami seperti saudara. Tak terpisahkan aku kira. Suka, duka.

Siang itu pukul dua. Aku lupa hari apa itu. Yang aku ingat hari itu cerah dan saat itu hanya kuhabiskan untuk tidur di sekret plantarum. Amat membosankan. Disebelahku seseorang laki-laki bertubuh kurus tinggi sedang tertidur pulas. Dia tak mendengkur. Aku berjanji akan membangunkannya pukul tiga. hanya itu yang ku ingat. Dia tertidur dengan wajah menghadap jendela. aku tak hanya berdua saat itu. Ada satu lagi laki-laki di pojok ruang. Laki-laki dengan rambutnya yang berantakan. Acak-acak. Kulitnya hitam bukan karena sinar matahari, tapi karena tak pernah dirawat. Tak tersentuh sabun. Dia sedang asik dengan komputer. Dia sangat sibuk. Dia memainkan musik keras-keras. Aku tak ingat music apa, yang ku ingat music itu sangat mengganggu. Aku tak suka.
Aku tak memarahinya. Maksudku memarahi si laki-laki berantakan itu. Aku hanya diam. Mengumpat didalam hati. Karena aku tahu sia-sia saja mengomel padanya. Dia mungkin hanya diam. Atau menanggapi seperlunya. Aku tak suka diabaikan. Maka aku memilih diam saja.
Sehari-hari aku menghabiskan waktu disekret. Kami dulu menganggap itu adalah rumah. Rumah kedua. Pagi, sore, siang, malam. Apa yang dilakukan? Tidak ada. Hanya mengobrol, bercanda, saling maki, saling caci. Menyenangkan? Tentu sangat menyenangkan bagiku. Entah bagi mereka. Dulu aku percaya mereka juga merasa senang. Sepertiku.
Saat ini, aku mulai ingat bahwa terkadang badut mebutuhkan topeng dan riasan wajah yang sedemikian menor untuk mendapatkan perhatian. Kepercayaan bahwa mereka adalah teman yang menghibur. mungkin kemarin lalu mereka hanya berpura-pura. Pura-pura bercanda, pura-pura tertawa, pura-pura memaki. Oh, ini tentu saja hanya ketakutanku saja. Tuhan, Semoga itu hanya ketakutanku saja.
***
  Braaaak…
Suara pintu dibanting.
Aku menoleh,
“hay, Suopel, subebek, dedisu, yunus = asu! Loh, mana subebek?” teriaknya. Dia perempuan dengan suara nyaring berisik.
“gak enek” kata si laki-laki berantakan tanpa menoleh.
“cok, jam piro iki?” bisik laki-laki di sebelahku.
“masih belum jam 3 kok” jawabku, sambil menengok jam yang menggantung didinding diatas pintu sekret.
“asu, garai wong kaget pas turu!” kata laki-laki disebelahku. Dia mengomel tak jelas. Kemudian berganti arah tidur. Dia membelakangiku. Aku sendiri lupa aku sedang melakukan apa. Mungkin membaca majalah.
“lopo mas?” Tanya perempuan tadi pada laki-laki berantakan. Yang kumaksud perempuan tadi adalah perempuan yang mendobrak pintu sekret.
Si laki-laki berantakan itu diam saja. Kenapa aku tahu? Karena perempuan itu ngomel karena tak dijawab. Perempuan itu diabaikan. Aku terkikik geli. Perempuan itu langsung membuka laptopnya dan asik sendiri. Aku diam saja. Hari itu aku sedang malas untuk bicara. Jadi aku diam saja.
Setelah itu aku lupa. Aku tak ingat kejadian selanjutnya. Aku benar-benar lupa. Hahaha hanya cerita sepele itu yang kuingat dengan jelas. Selebihnya aku tak bisa menceritakannya. Terlalu banyak, hingga aku lupa memulainya darimana.
***
Semalam, aku tak sengaja berpapasan dengan si laki-laki berantakan. Dia menggunakan kaos kuning dan memakai sarung. dia selesai sholat. Dia mengingatkanku kalau aku merindukannya. Aku merindukan mereka. Amat rindu.
Semalam, aku mengingat banyak hal. Kejadian masa lalu. Benar mungkin apa yang dikatakan choi beberapa waktu yang lalu. Katanya, aku selalu mencintai masalalu. Mengenang dan berharap kejadian itu bisa berulang.
Saat ini aku ingin sekali menyapa teman lamaku ini. seperti sudah lama sekali aku tak bertemu dengan mereka. Lama sekali.
hai nus! Bagaimana kabarmu? Terkadang aku lupa untuk memanggilmu ‘mas’. Saat ini tentu kamu sudah sering mandi. Sudah sering tersentuh sabun. Sudah sering gosok gigi. Sudah ada yang mengingatkanmu bukan? Memarahimu jika kamu lupa. Haha, Melihat dirimu rapi begitu, aku tahu kamu tak salah pilih cari pendamping.
Bagaimana kuliahmu? Kata seseorang yang mengaku dirimu di BBm mengatakan kalau kamu sedang menuju toga, Benarkah? Lama, tak mendengarkanmu bercerita. ceritamu selalu saja berhasil meyakinkanku. Aku juga merindukan nasihatmu. Meskipun aku selalu saja tak peduli. Setiap aku ada masalah aku selalu tahu, bahwa kamu adalah tempat yang pas untuk berbagi. Sekarang, kita jarang berkomunikasi. Seperti orang asing. Yang hanya saling menyapa “hai”. aku tak suka. Tapi aku diam saja.
Kalau memang benar kabar bahwa kamu sebentar lagi akan menikah, aku tentu akan sangat marah padamu nus. Aku marah karena tidak mengetahuinya dari mulutmu sendiri. Aku mengganggapmu saudara, harusnya kamu berkabar terlebih dahulu. Aku telah mengganggapmu lebih dari teman. Kita saudara. Kamu dulu pernah mengatakannya bukan? Saudara tak seharusnya begitu.
            ***
            Hai ded! Si laki-laki kurus tinggi. Kita lebih sering bertemu. Walaupun, pertemuan kita tak seakrab dulu. kamu sekarang lebih rapi. Lebih sering mandi daripada aku. Kamu paling sabar diantara yang paling sabar menghadapi aku, dan tentu saja kami. Kami si Perempuan-perempuan menyebalkan katamu.  
***
Hei su! Ayo ngopi lagi.
Aku berjanji lain kali aku akan menulis lebih bagus dari ini.
***
Rumah kosong.
Sudah lama ingin dihuni.
Adalah teman bicara; Siapa saja atau apa
Jendela, kursi
atau bunga dimeja.
Sunyi, menyayat seperti belati
Meminta darah yang mengalir dari mimpi
(puisi Subagio Sastrowardoyo)