Jumat, 25 September 2015

Apes,


Saya tak tahu apakah harus bersyukur atau mengeluh. Pagi itu, saya berencana berangkat ke Jember menggunakan Bus. Sialnya, hampir satu jam menunggu, bus tak juga muncul. Tak berapa lama, tiba-tiba ada mobil kijang berhenti di depan saya. Bapak berumuran 50-an muncul menawarkan tumpangan. Ini gratis, pikir saya. Jelas saja, saya senang. Bagaimana tidak? Uang saya tinggal dua puluh ribu rupiah. saya sudah membayangkan bahwa tiga hari kedepan saya masih bisa makan.

Didalam mobil, terdapat kurang lebih empat mahasiswa. Saya duduk dibelakang sendiri. Sekedar basa-basi dengan teman sebelah saya, ternyata dia salah satu teman akrab sahabat saya di rumah, Nesa.Kami mulai mengobrol. Kemudian, saya menyinggung masalah biaya kendaraan yang sedang kami tumpangi. Tentu saja saya menanyakannya dengan mengetiknya melalui pesan teks via handphone. Ternyata, perempuan yang duduk disebelah saya itu, juga tak tahu menahu mengenai biaya tumpangan. Katanya, pokoknya ini ndak gratis mbak.

Mampus.

Saya langsung diam. Ah, mungkin tak lebih dari dua puluh ribu pikir saya. Lha wong, naik bus aja Cuma lima belas ribu dari rumah.

Sampai terminal pakusari bapak berumuran 50-an itu berhenti disalah satu toko 24 jam. Ah, mumpung si sopir lagi keluar saya memberanikan diri bertanya biaya yang di patok pada perempuan yang duduk didepan saya.

 Dua puluh lima ribu mbak, katanya.

Jedyer.

Otomatis saya panik. Uang saya Cuma dua puluh ribu rupiah. minus lima ribu rupiah. saya bingung, saya melirik perempuan yang duduk disebelah saya. Dengan memberanikan diri, dan membuang rasa malu jauh-jauh,

Boleh pinjam uang lima ribu rupiah gak mbak?uang ku pas mbak, dua puluh ribu.

Perempuan di sebelah saya itu tersenyum,

gak usah pinjem mbak, turun di unmuh aja bareng saya, biar bayarnya bareng, kali aja mbaknya gak dua puluh lima.

Oke deh, kata saya. Selanjutnya saya memberikan uang dua puluh ribu saya kepada perempuan disebelah saya.

Sesampainya di Unmuh, bapak sopir 50-an itu membukakan pintu.

Dua orang pak, berapa? kata perempuan disebelah saya.

Lima puluh mbak,

Jeglek

Perempuan disebelah saya menyodorkan uang lima puluhan nya.

Pas ya pak.

Enggeh. Matur nuwun.

Matur nuwun, endasmu pak. Batin saya dalam.

Kemudian saya meminta nomor hanphone perempuan itu, saya janji sepulang nanti saya bakal ganti. Saya sangat malu.

Gak usah mbaknya, kan udah temen.

Kalimat terakhirnya membuat saya terpana. Bagaimana mungkin, dia menganggap saya teman? Padahal kenal saja baru tadi di mobil. Saya ucapkan terimakasih, tapi tetap saja saya harus tahu nomor handphonenya. Saya harus ganti.

Sebelum perempuan itu pergi, dia menawarkan untuk menunggu teman yang menjemput saya di kosnya. Saya menolak. Karena saya tahu, teman yang mau menjemput saya tak bakal datang.

Setelah itu, saya jalan kaki dari Unmuh sampai kampus.

Sambil mengumpat dalam hati,

Apes tenan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar