"Mungkin
semua itu terjadi karena penyesalan yang begitu dalam atas pembunuhan yang dia
lakukan pada waktu itu. Karena rasa penyesalan yang begitu dalam, saat
memperagakan pembunuhan itu, (mereka) seperti mati rasa," ujar Adi
Begitu
kiranya kalimat yang keluar dari mulut Adik Ramli, Adi, yang saya tangkap saat
menonton film karangan Joshua Oppenheimer kemarin malam. Sebenarnya sudah kedua
kalinya saya menonton film Senyap (The Look of Silence). Tapi, sengaja saya
menonton sekali lagi karena saya tak sempat merangkum nya menjadi tulisan.
Film
ini menceritakan tentang usaha Adi, si Tukang kacamata keliling dalam
mengungkap sejarah tentang pembantaian simpatisan PKI. Adi adalah adik dari
Ramli, salah satu korban pembantaian 1965-1966 di salah satu desa perkebunan
terpencil di Sumatera Utara. Lahir pasca pembantaian 1965-1966, Adi tumbuh
dalam keluarga yang secara resmi dinyatakan "tidak bersih lingkungan"
karena kakaknya, Ramli, dianggap simpatisan PKI. Bersama Adi, Oppenheimer
mengumpulkan para korban dan penyintas pembantaian 1965-1966, mendokumentasikan
kesaksian mereka tentang sejarah pahit itu.
Banyak
hal sebenarnya yang masih belum terungkap dalam film tersebut dan masih banyak
hal yang membuat saya bertanya-tanya. Siapa sebenarnya Joshua Oppenheimer?
Siapa yang berada dibalik pembuatan dan penayangan film Senyap? Apa tujuan
mereka? Amankah Adi sekeluarga? Ah, tentu saja jika hal ini dibahas bakal
terlalu jauh.
Dari
film ini saya menjadi teringat akan hal yang hampir sama persis dengan apa yang
saat ini kita alami. Kita? Iya, para mahasiswa yang merasakan perasaan yang
sama dengan saya tentunya. Secara tak sadar kita sebagai mahasiswa saat ini
seakan di Senyap kan. Mulut dan mata kita dibungkam. Tak percaya? Lihat saja
sekarang, peraturan-peraturan yang dibuat oleh orang-orang yang menganggap
dirinya sebagai orang tua dilaksanakan secara sepihak. Mereka selalu berdalih
bahwa kebijakan murni untuk kebaikan kita, mahasiswa. Beranggapan bahwa kita
adalah anak-anak mereka. Mulai dari pembatasan jam malam. Penggunaan gedung Kegiatan
mahasiswa di hari Sabtu dan Minggu dibatasi. Sekret hanya digunakan untuk
kantor. Dan dana kegiatan mahasiswa dipotong besar-besaran.
Sedangkan kita? Disibukkan dengan dunia
akademis yang akhirnya membuat kita lalai dan melupakan hal-hal sekitar. Yang
secara tidak sadar sebenarnya menciptakan kita sebagai mesin produksi. Kita
yang diiming-imingi bahwa patuh dan
taat akan selalu menuju sebuah kesuksesan besar.
Mahasiswa
adalah agent of change, kata dosen.
Mahasiswa adalah agent of control, kata
kakak-kakak ospek kemarin. Hal ini tak lebih dari slogan, umbul-umbul, janji
palsu yang ditawarkan untuk meningkatkan kepopuleran, menarik masa. Faktanya, manusia
yang meneriakkan panji-panji macam itu saat ini tak bisa berbuat apa-apa.
Menyerah karena takut tak cepat lulus jika membangkang.
Hampir
sama persis dengan apa yang dikatakan oleh adi di Film itu, “Mungkin semua itu terjadi karena penyesalan
yang begitu dalam atas pembunuhan yang dia lakukan pada waktu itu. Karena rasa
penyesalan yang begitu dalam, saat memperagakan pembunuhan itu, (mereka) seperti
mati rasa”. Iya, benar. Mungkin mereka yang mengganggap dirinya orangtua
merasa bersalah karena belum mampu menjadi orang tua yang baik bagi kita.
Mereka paham bahwa kebijakan yang mereka tawarkan mengkebiri kreatifitas kita
sebagai mahasiswa dan peraturan yang mereka terapkan selalu sepihak. Padahal
mereka sendirilah yang mengatakan bahwa Negara kecil ini menerapkan sistem
Demokrasi. Mungkin hal tersebut menjadi sebuah penyesalan yang sangat dalam,
sehingga saat ini mereka (yang selalu mengklaim dirinya adalah orang tua) mati
rasa!
“Jika mata dan mulut kita dibungkam maka pena yang
berbicara!” (saya lupa kalimat ini milik siapa, hehehe)
duh adek mahasiswa inih...
BalasHapusjelek ya, heuheu
BalasHapus