Selasa, 17 Februari 2015

Hai Su!


 “Suopel, sunita, subebek, dedisu, yunus = asu!” teriaknya. Dulu kami sering mengobrol, berkumpul bersama. Ukm hanya tempat bernaung. Kami seperti saudara. Tak terpisahkan aku kira. Suka, duka.

Siang itu pukul dua. Aku lupa hari apa itu. Yang aku ingat hari itu cerah dan saat itu hanya kuhabiskan untuk tidur di sekret plantarum. Amat membosankan. Disebelahku seseorang laki-laki bertubuh kurus tinggi sedang tertidur pulas. Dia tak mendengkur. Aku berjanji akan membangunkannya pukul tiga. hanya itu yang ku ingat. Dia tertidur dengan wajah menghadap jendela. aku tak hanya berdua saat itu. Ada satu lagi laki-laki di pojok ruang. Laki-laki dengan rambutnya yang berantakan. Acak-acak. Kulitnya hitam bukan karena sinar matahari, tapi karena tak pernah dirawat. Tak tersentuh sabun. Dia sedang asik dengan komputer. Dia sangat sibuk. Dia memainkan musik keras-keras. Aku tak ingat music apa, yang ku ingat music itu sangat mengganggu. Aku tak suka.
Aku tak memarahinya. Maksudku memarahi si laki-laki berantakan itu. Aku hanya diam. Mengumpat didalam hati. Karena aku tahu sia-sia saja mengomel padanya. Dia mungkin hanya diam. Atau menanggapi seperlunya. Aku tak suka diabaikan. Maka aku memilih diam saja.
Sehari-hari aku menghabiskan waktu disekret. Kami dulu menganggap itu adalah rumah. Rumah kedua. Pagi, sore, siang, malam. Apa yang dilakukan? Tidak ada. Hanya mengobrol, bercanda, saling maki, saling caci. Menyenangkan? Tentu sangat menyenangkan bagiku. Entah bagi mereka. Dulu aku percaya mereka juga merasa senang. Sepertiku.
Saat ini, aku mulai ingat bahwa terkadang badut mebutuhkan topeng dan riasan wajah yang sedemikian menor untuk mendapatkan perhatian. Kepercayaan bahwa mereka adalah teman yang menghibur. mungkin kemarin lalu mereka hanya berpura-pura. Pura-pura bercanda, pura-pura tertawa, pura-pura memaki. Oh, ini tentu saja hanya ketakutanku saja. Tuhan, Semoga itu hanya ketakutanku saja.
***
  Braaaak…
Suara pintu dibanting.
Aku menoleh,
“hay, Suopel, subebek, dedisu, yunus = asu! Loh, mana subebek?” teriaknya. Dia perempuan dengan suara nyaring berisik.
“gak enek” kata si laki-laki berantakan tanpa menoleh.
“cok, jam piro iki?” bisik laki-laki di sebelahku.
“masih belum jam 3 kok” jawabku, sambil menengok jam yang menggantung didinding diatas pintu sekret.
“asu, garai wong kaget pas turu!” kata laki-laki disebelahku. Dia mengomel tak jelas. Kemudian berganti arah tidur. Dia membelakangiku. Aku sendiri lupa aku sedang melakukan apa. Mungkin membaca majalah.
“lopo mas?” Tanya perempuan tadi pada laki-laki berantakan. Yang kumaksud perempuan tadi adalah perempuan yang mendobrak pintu sekret.
Si laki-laki berantakan itu diam saja. Kenapa aku tahu? Karena perempuan itu ngomel karena tak dijawab. Perempuan itu diabaikan. Aku terkikik geli. Perempuan itu langsung membuka laptopnya dan asik sendiri. Aku diam saja. Hari itu aku sedang malas untuk bicara. Jadi aku diam saja.
Setelah itu aku lupa. Aku tak ingat kejadian selanjutnya. Aku benar-benar lupa. Hahaha hanya cerita sepele itu yang kuingat dengan jelas. Selebihnya aku tak bisa menceritakannya. Terlalu banyak, hingga aku lupa memulainya darimana.
***
Semalam, aku tak sengaja berpapasan dengan si laki-laki berantakan. Dia menggunakan kaos kuning dan memakai sarung. dia selesai sholat. Dia mengingatkanku kalau aku merindukannya. Aku merindukan mereka. Amat rindu.
Semalam, aku mengingat banyak hal. Kejadian masa lalu. Benar mungkin apa yang dikatakan choi beberapa waktu yang lalu. Katanya, aku selalu mencintai masalalu. Mengenang dan berharap kejadian itu bisa berulang.
Saat ini aku ingin sekali menyapa teman lamaku ini. seperti sudah lama sekali aku tak bertemu dengan mereka. Lama sekali.
hai nus! Bagaimana kabarmu? Terkadang aku lupa untuk memanggilmu ‘mas’. Saat ini tentu kamu sudah sering mandi. Sudah sering tersentuh sabun. Sudah sering gosok gigi. Sudah ada yang mengingatkanmu bukan? Memarahimu jika kamu lupa. Haha, Melihat dirimu rapi begitu, aku tahu kamu tak salah pilih cari pendamping.
Bagaimana kuliahmu? Kata seseorang yang mengaku dirimu di BBm mengatakan kalau kamu sedang menuju toga, Benarkah? Lama, tak mendengarkanmu bercerita. ceritamu selalu saja berhasil meyakinkanku. Aku juga merindukan nasihatmu. Meskipun aku selalu saja tak peduli. Setiap aku ada masalah aku selalu tahu, bahwa kamu adalah tempat yang pas untuk berbagi. Sekarang, kita jarang berkomunikasi. Seperti orang asing. Yang hanya saling menyapa “hai”. aku tak suka. Tapi aku diam saja.
Kalau memang benar kabar bahwa kamu sebentar lagi akan menikah, aku tentu akan sangat marah padamu nus. Aku marah karena tidak mengetahuinya dari mulutmu sendiri. Aku mengganggapmu saudara, harusnya kamu berkabar terlebih dahulu. Aku telah mengganggapmu lebih dari teman. Kita saudara. Kamu dulu pernah mengatakannya bukan? Saudara tak seharusnya begitu.
            ***
            Hai ded! Si laki-laki kurus tinggi. Kita lebih sering bertemu. Walaupun, pertemuan kita tak seakrab dulu. kamu sekarang lebih rapi. Lebih sering mandi daripada aku. Kamu paling sabar diantara yang paling sabar menghadapi aku, dan tentu saja kami. Kami si Perempuan-perempuan menyebalkan katamu.  
***
Hei su! Ayo ngopi lagi.
Aku berjanji lain kali aku akan menulis lebih bagus dari ini.
***
Rumah kosong.
Sudah lama ingin dihuni.
Adalah teman bicara; Siapa saja atau apa
Jendela, kursi
atau bunga dimeja.
Sunyi, menyayat seperti belati
Meminta darah yang mengalir dari mimpi
(puisi Subagio Sastrowardoyo)

2 komentar: