Bungkus keripik, botol
air mineral, bungkus plastik berceceran di lantai. Lampu kamar kubiarkan mati,
hanya ada seberkas cahaya dari lampu teras depan kamar kos. Hatiku muram,
kamarku suram. Semut hitam berjalan
cepat lewat layar laptopku. Kubiarkan nyamuk menghisap darahku. Pahaku bentol,
betis, lengan, dan juga pipi. Tapi aku tak merasa gatal, tak risih. Perutku tak
lapar, tapi hatiku sedang keroncongan minta makan. Entah harus aku isi apalagi
biar hati ini tak berderik kelaparan. Mie instan, telur rebus, kopi, nasi
campur, keripik singkong lima bungkus, dan entah makanan apalagi yang sudah
kulahap untuk menenangkan nyeri dihati ini. Mereka seolah berkampanye, demo
besar-besaran meminta ku turun untuk mendengarkan mereka. Turun masuk kedalam
tubuhku sendiri, kedalam organ-organ paling dalam. Mereka tak tahu, sulitnya
menjadi aku, menjadi satu-kesatuan diriku itu. Aku harus mendengarkan tanganku,
harus mengontrol kakiku, mulut, telinga serta mata yang seringkali bertengkar
dengan kelopak. Namun, hati yang paling bijak. Dan saat ini aku tak punya nyali
untuk turun dan menemuinya. Aku tak mau mendengarkan.
Aku tak tahu harus
melakukan apa. Aku juga tak sanggup jika hal yang kupikirkan, hal yang sering
berkelebat dalam lamunan sewaktu aku sedang duduk sendiri memang benar adanya. Itu impianku, ada yang
salah? Pilihanku tak tepat? Pertanyaan-pertanyaan itu berdering minta dijawab.
Namun, tak ada seseorang, tak ada benda yang bisa aku ajak bicara. Hanya hati
yang sedang duduk manis dalam sanubari. Menungguku pulang dari permainan petak
umpet antara diriku dan pikiranku sendiri. Aku terlalu pengecut untuk
mendengarkan.
Melawan diri sendiri
memang butuh kekuatan yang besar. Aku harus turun, harus menemuinya.
“hati bukan kartu skor. Tak ada menang, tak ada kalah. Kau masih
punya pilihan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar