Senin, 11 Juli 2016

Bungkus Keripik



Bungkus keripik, botol air mineral, bungkus plastik berceceran di lantai. Lampu kamar kubiarkan mati, hanya ada seberkas cahaya dari lampu teras depan kamar kos. Hatiku muram, kamarku suram.  Semut hitam berjalan cepat lewat layar laptopku. Kubiarkan nyamuk menghisap darahku. Pahaku bentol, betis, lengan, dan juga pipi. Tapi aku tak merasa gatal, tak risih. Perutku tak lapar, tapi hatiku sedang keroncongan minta makan. Entah harus aku isi apalagi biar hati ini tak berderik kelaparan. Mie instan, telur rebus, kopi, nasi campur, keripik singkong lima bungkus, dan entah makanan apalagi yang sudah kulahap untuk menenangkan nyeri dihati ini. Mereka seolah berkampanye, demo besar-besaran meminta ku turun untuk mendengarkan mereka. Turun masuk kedalam tubuhku sendiri, kedalam organ-organ paling dalam. Mereka tak tahu, sulitnya menjadi aku, menjadi satu-kesatuan diriku itu. Aku harus mendengarkan tanganku, harus mengontrol kakiku, mulut, telinga serta mata yang seringkali bertengkar dengan kelopak. Namun, hati yang paling bijak. Dan saat ini aku tak punya nyali untuk turun dan menemuinya. Aku tak mau mendengarkan.

Aku tak tahu harus melakukan apa. Aku juga tak sanggup jika hal yang kupikirkan, hal yang sering berkelebat dalam lamunan sewaktu aku sedang duduk sendiri  memang benar adanya. Itu impianku, ada yang salah? Pilihanku tak tepat? Pertanyaan-pertanyaan itu berdering minta dijawab. Namun, tak ada seseorang, tak ada benda yang bisa aku ajak bicara. Hanya hati yang sedang duduk manis dalam sanubari. Menungguku pulang dari permainan petak umpet antara diriku dan pikiranku sendiri. Aku terlalu pengecut untuk mendengarkan.

Melawan diri sendiri memang butuh kekuatan yang besar. Aku harus turun, harus menemuinya.

“hati bukan kartu skor. Tak ada menang, tak ada kalah. Kau masih punya pilihan.” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar