Selasa, 08 Maret 2016

Teh Tawar #cerpen



Saat itu pukul delapan. Kau menelponku tiba-tiba. Kau menanyakan aku sedang berada dimana. aku sedang di apartemen, jawabku. 

Jangan kemana-mana, sepuluh menit lagi aku di depan pintu apartemenmu.

Oke, ada apa? Tanyaku. Tak kau jawab. Hanya terdengar nada terputus diujung sana.

Tak perlu kau jawab, aku sudah tahu apa yang akan terjadi, lebih tepatnya apa yang akan kau ucapkan. Sudah lebih dari empat minggu kau tak menghubungiku. Menghubungi seperti biasa. Kalimat-kalimat sms mu terihat aneh akhir-akhir ini. Aku tahu akan ada sesuatu yang terjadi. Tapi aku tak terlalu memikirkannya. Itu terlalu menyakitkan.

20.10

kau masih belum datang. Jantungku berdegup menunggumu. Dengan gugup aku memandang cermin di pojok ruang. Ah, wajahku amat kacau. Ada lingkaran hitam di bawah mataku. Akhir-akhir ini aku memang tak bisa tidur nyenyak. Banyak sekali yang aku pikirkan. Tugas akhir misalnya, hampir membuatku gila.

Dengan malas aku pergi ke kamar mandi, berharap dengan mencuci muka, wajahku yang berantakan ini tak terlalu terlihat menyedihkan. Aku tak pandai merawat wajah, tapi aku bersyukur wajah yang sedang kupandangi di depan cermin ini adalah wajah milikku.

20.20
 
suara ketukan pintu. Itu kau. Dengan sedikit berlari aku membuka pintu, kau dengan kemeja biru dan celana jeans hitam yang sudah mulai pudar terlihat basah. Aku hanya memandangmu,

Di luar hujan, dan aku malas pakai jas hujan.

Kau menjawab seakan aku bertanya. 

Kau langsung duduk di kursi yang biasanya kau duduki. Kali ini aku tak duduk disampingmu, aku memilih kursi di depanmu. Dulu, saat aku memilih duduk disini, kau selalu merengek, meminta dengan manja agar aku duduk disampingmu. Lalu, dengan malas yang disengaja aku beralih duduk disampingmu. Kali ini, kau tak merengek, bahkan kau terlihat nyaman saat aku memilih kursi yang terletak jauh darimu. Jauh dari jangkauanmu.

Kemana saja? Kenapa sulit sekali menghubungimu? Tanyaku.

Aku sibuk akhir-akhir ini. kau tahu itu. banyak sekali pekerjaan yang harus aku selesaikan.

Kau bosan, aku tahu. Kau hanya tak mampu mengucapkannya bukan? Atau kau tak mau dianggap laki-laki pecundang?.


Hahaha

Lihatlah kau tertawa. Aku tertawa. Kita tertawa. Tapi, dipelupuk matamu aku tahu, kau sedang menertawakan kebohongan. Sayang, kau tak pandai berbohong.
Aku diam saja memandangmu.

Bagaimana kabarmu?

Aku jawab baik-baik saja. Lihat, aku tambah gemuk, tambahku. Lalu kau mengangguk mengiyakan. Matamu melihat sekeliling ruangan. Tatapanmu asing. Aku tahu yang sedang kau pikirkan. Jangan pernah meremehkan insting seorang perempuan, sayang. Tapi, Aku tak mau menanggapi pikiran ku tentangmu kali ini. saat ini aku hanya perlu duduk dan memandangmu, aku hanya perlu menikmati kebohongan dan menunggu dengan sabar bagaimana akhir dari sandiwara ini.

Akan ku buatkan kau kopi, kataku.

Tidak, teh saja, aku sedang malas minum kopi.

Lihatlah, kau sungguh berbeda hari ini, sayang, kataku.

Kau selalu bawa perasaan.

Aku beranjak pergi dari kursiku. Pergi ke dapur dan membuatkanmu teh.

Tak usah pakai gula.

Aku terdiam beberapa detik di tempatku. Kau kenapa? Tanyaku. Bukankah kau penggemar gula? Imbuhku.

Aku sedang tak suka dengan gula. Aku ingin teh tawar saja.

Aku sengaja berlama-lama di dapur. Aku ingin menyembunyikan kegugupan ku. aku sungguh takut dengan apa yang akan ku dengar sebentar lagi. Kau tahu sayang, menjadi perempuan yang tegar dan mandiri tak selalu menyenangkan. Aku tahu, kau tak suka dengan perempuan yang selalu bergantung dengan laki-laki. Dan sialnya, sewaktu kencan pertama kita dulu aku mengiyakan pernyataanmu itu. Dan aku tak mau nampak pecundang didepanmu.

Aku membuat teh untuk mu dengan gelas yang menurutku paling indah. Ada sepasang manusia di gelas itu. wajahnya tak terlalu jelas, samar. Gelas itu berwarna merah muda. Salah satu warna favoritmu. Aku membuat segelas teh tawar dengan amat perlahan. Sesempurna mungkin. Selama mungkin.

Kau masih lama?

Oh, sayang, suaramu terdengar tak sabar. Dengan nafas berat aku kembali ke ruang depan sambil membawa segelas teh tawar untukmu.

Wajahmu cemas, namun kau masih saja mencoba untuk tersenyum.
Sayang, jangan dipaksakan. Melihatmu seperti itu membuatku lebih merana.

Aku diam.

Kau juga diam.

Kenapa hanya satu cangkir?

Karena aku tahu sayang, kau sedang tak ingin berlama-lama disini, jawabku asal.

kau tahu itu tidak benar, aku hanya sedang terburu-buru.

Lalu, ada apa? Tanyaku.

Kau masih diam saja.

Gak mungkin kan kamu datang hujan-hujan begini hanya untuk minum teh tawar?


Emm, Aku datang kesini untuk menjawab pertanyaanmu tempo lalu.

Apa? Tanyaku.

Iya, lebih baik kita akhiri saja.

Kenapa?


Kau masih tanya kenapa? Kau sendiri kan yang mengatakan hubungan ini tak mungkin bertahan lama? Kau juga yang selalu mengatakan kalau aku kekanakan? Iya kan? Kau juga yang selalu mengeluh? Kau juga bilang kalau sebenarnya kau sudah tak tahan, sudah jenuh, iya kan?

Mulutku refleks membuka. Ingin menjawab. Tapi taka da bunyi yang keluar. Mengapa kata-kata justru hilang pada saat seperti ini?

Aku tak mampu menjawab. Sayang, oh, maafkan aku, aku hanya sedang marah saat itu. kau tahu sendiri, aku selalu begitu kalau aku benar-benar sendiri dan membutuhkan seseorang disampingku, sialnya kita berjarak, tak mudah untuk merasakan pelukanmu disisiku.

Tapi kata-kata itu tak mampu keluar dari mulutku.

Pandangan mata kita yang sedari tadi berlari-lari mulai berani menemukan satu sama lain. Rasanya kita sama-sama tahu, entah kapan lagi tatapan seperti ini terjalin.

Ngomong dong!

kau sudah menemukan perempuan lain? Tanyaku spontan. Dengan sekuat tenaga aku mencoba menatap matamu. Iya, aku harus tahu, apa yang membuat dirimu seperti ini. Aku mengenalmu, sayang. Kau telah menemui perempuan lain.

Jangan mengalihkan pembicaraan!

Jangan pernah berbohong dengan mata itu sayang. Aku tahu hubungan ini harus diakhiri. Aku tak akan marah kalau kau menyalahkanku, memang benar aku yang terlalu banyak melakukan kesalahan, terlalu sering menyakitimu. Ya, aku tahu, kau telah menemukan perempuan yang mungkin kau idamkan, sesuai dengan permintaan keluarga besarmu.

Iya, aku jenuh, kataku. Aku sudah muak dengan hubungan ini. Tentu saja aku bohong,

Iya? Benar?

Aku diam saja.

Kau lalu berdiri mengambil handphone mu, wajahmu terlihat sedih, tapi juga ada rasa kemenangan disana. Ya, kau lega kan kita berpisah?

Kau akan menyesal…

Mungkin, kataku.

Lalu kau pamit pergi. Kau menutup pintu apartemen dengan perlahan. Kau terobos hujan malam-malam.

Aku masih terdiam duduk di kursi. Sayang, kau bahkan tak mencicipi teh tawarmu.

2 komentar:

  1. Dan ini adalah perpisahan kamu yang kesekian kalinya untuk menuju pintu yang selalu sama tiap pulang

    BalasHapus
  2. mungkin saat ini aku harus siap-siap berkemas pergi jauh.

    BalasHapus