Senin, 11 Juli 2016

Misi



Ada beberapa hal yang tak bisa kamu lakukan dengan pasanganmu. Joging sambil hujan-hujanan misalnya. Kegiatan ini paling menyenangkan dilakukan bersama teman.

Sore itu tanpa ada rencana saya mengajak teman saya joging di Alun-alun kota. Ajakan saya langsung diterima, tanpa cuci muka dan hanya menggunakan training dan kaos, saya dan teman saya berangkat. beberapa detik keluar dari kosan, Jember tiba-tiba mendung dan gerimis. Dengan muka manyun, dia bertanya,

Gimana?

Ya ayo, lanjut.

Oke

Kami terjang gerimis sore itu, dengan semangat ingin menurunkan lemak dan memberi
pelajaran pada badan karena akhir-akhir ini malas diajak olahraga. Aku sendiri memang ingin sekali joging, melihat perut buncitku mulai sedikit manyun kedepan, pipi sedikit ngembang, rasanya badan kurang  bergerak terlalu sering di manja. Hal ini tak boleh dibiarkan.

Sesampainya di alun-alun, hujan masih gerimis. Tanpa pemanasan terlebih dulu, kami lari-lari kecil. Tak sampai satu putaran, hujan turun amat deras. Kami pun berhenti, memikirkan apakah harus lanjut atau berhenti dan pulang ke kosan. Kami melihat sekeliling. Alun-alun tak begitu ramai. Beberapa orang yang sedang bermain sepak takrow sedang berteduh dibawah pohon besar, beberapa ada yang berteduh di emperan pujasera alun-alun, dan sekelompok anak SD memilih hujan-hujanan sambil main bola.  Hanya anak kecil yang hujan-hujanan.

Ini namanya hujan deras,

Lalu?

Jadi gimana?

Ya lanjut, lima putaran sambil hujan-hujanan.

Serius?

Mau bagaimana lagi? Kan sudah niat mau joging.

Maka joginglah kami sambil hujan-hujanan. Pada putaran pertama, kami jadi tontonan orang-orang yang berteduh. Ada juga yang teriak-teriak menggoda. Sebernarnya kami malu, tapi tak apalah toh kami tak akan jumpa lagi dan kami juga tak kenal.  Kami terus saja joging. putaran kedua kami basah kuyup. Training panjang yang kupakai terasa berat karena basah. Hujan tambah deras, tetesannya terasa sakit di kepala. Kacamata ku mulai berembun, mataku mulai kabur. Tapi kami tetap joging.

Pada putaran ketiga, kami mulai ngos-ngosan, Tubuh kami terasa gatal karena kedinginan, rasanya ingin menyerah saja. lambat laun kami jadi berjalan pelan. Tak kuat. Tapi tak berhenti.

Tiga putaran aja ta?

Jangan, kan udah komitmen lima putaran apapun yang terjadi

Duh, begini kalau tubuh tak pernah olahraga

Ini seperti skripsi, cuy.

Kok tiba-tiba ke skripsi?

Udah joging terus aja

apa kok?

Lihat, tiap putaran ada-ada saja halangan, ada hujan, ada banyak orang yang memperhatikan karena dianggap gila joging sambil hujan-hujanan, ada tubuh yang ngos-ngosan ingin berhenti. Persis skripsi ada-ada aja alasan buat berhenti sejenak.

Hahahaha

Pada putaran ke empat kami resmi tak joging, malah kami berjalan macam jalan sehat sambil hujan-hujanan. Obrolan kami pun berlanjut,

Lihat cuy, kalau Tuhan lihat, mungkin permasalahan-permasalahan yang kita temui yang dianggap berat kayak skripsi, pasti seperti joging lima putaran.

Kok bisa?

Iya, mungkin di awal terihat mudah, tapi ternyata enggak cuy, lima putaran itu susah. Padahal, kan tinggal lari aja, atau kalau enggak ya jalan dong, yang penting jangan diam, jangan berhenti.

Terus?

Ya kalau berhenti, gak selesai-selesai.

Hahahaha, kamu terlalu serius mikirin skripsi cuy,

Serius cuy, joging sore ini memiliki arti.

Udah, yuk. Tinggal satu putaran lagi nih,full  joging  yuk. Pantang jalan santai!

Pada putaran kami yang terakhir, kami berdua diam membisu, khusyuk mendengarkan suara hujan turun, suara derap sandal jepit, suara bising kendaraan.

Cuy, akhirnya lima putaran!

Hahaha, ternyata lima putaran itu susah yah,

Ah, begini toh rasanya berjuang,

Jadi begitulah kelebayan kami berdua sore itu: joging lima putaran alun-alun kota. Misi kami tuntas, lunas dan kami berdua bahagia. Acara sore itu, kami tutup dengan beli cilok dekat masjid kota sambil duduk di trotoar.

cuy, aku haus, hayuk pulang. Kau mau ngapain setelah ini?

Ah, menghadap laptop lagi cuy, perjuangan misi pertama masih belum tuntas!





Ada kalanya,



Ada kalanya tatapanmu itu sudah tak lagi berfungsi. Belum kulupa bagaimana tatapanmu itu bisa membuatku merasa bahwa aku ada. Bahwa aku disini. Dan kamu membutuhkanku. Ah, duduk dan ngopi dipinggir jalan. Melihatmu duduk bersila dan minum kopi murah dari sebungkus kopi instan dengan gelas plastik. Semoga bukan bekas air gelas mineral. Kau juga selalu menyalakan rokokmu, tapi tak pernah mengarahkannya padaku (Nb: kau tak pernah mau mengakuinya kalau sebenarnya kau tak ingin aku terkena asap rokokmu). Kita duduk berdua, tertawa tentang hal-hal yang tak masuk akal. Tentang monster, pesawat ufo, serangan zombie, kecoa dan hal-hal yang dulu membuatku senyum-senyum sendiri. Dulu, duduk dan ngobrol bersamamu adalah hal paling ditunggu. Karena aku tahu, menemuimu perlu ritual panjang. Namun sepertinya hal-hal sepele itu tak lagi menarik.

Ada kalanya sms dan telfon itu sudah tak lagi berguna. Sering kuingat bagaimana hebohnya diriku saat seharian tak menerima sms mu. Tak mendapat telfonmu di penghujung hari,  aku bisa uring-uringan. Saat kuliah misalnya, berkali-kali ku tengok handphone-ku, berharap kamu menghubungiku. Walaupun hanya kata, Woi. Meski akhirnya sms mu itu sengaja tak kubalas, karena aku menunggu kamu menelfonku. Ya, aku hobi sekali membuat mu khawatir. Ah, rasanya menyenangkan. Jauh lebih menyenangkan dari mendapat hadiah. Namun, hal-hal menyenangkan itu sudah terasa hambar.

Ada kalanya pelukanmu sudah tak lagi terasa menenangkan.

Dan pada saat itu, kita akhirnya memilih berpisah.

Memilih jalannya masing-masing.

Memilih lagi pasangan yang bisa berkompromi dengan diri.

Saling merelakan.

Melakukan proses hubungan yang melelahkan itu lagi.

Kemudian aku berubah menjadi perempuan yang tak kusukai. Seperti yang pernah kukatakan padamu: mengalaykan sesuatu untuk mendapatkan perhatian.
(kau tahu, denganmu aku tak pernah menjadi sosok perempuan itu)

Saat ini, Aku sering berfikir, setiap hubungan selalu mempunyai masanya sendiri-sendiri.
Saling jenuh, bertengkar hal-hal sepele dan merasa tak berguna dengan pasangan masing-masing. Bersiaplah. Karena kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti.

Maka,

Nikmatilah setiap momen,


Bungkus Keripik



Bungkus keripik, botol air mineral, bungkus plastik berceceran di lantai. Lampu kamar kubiarkan mati, hanya ada seberkas cahaya dari lampu teras depan kamar kos. Hatiku muram, kamarku suram.  Semut hitam berjalan cepat lewat layar laptopku. Kubiarkan nyamuk menghisap darahku. Pahaku bentol, betis, lengan, dan juga pipi. Tapi aku tak merasa gatal, tak risih. Perutku tak lapar, tapi hatiku sedang keroncongan minta makan. Entah harus aku isi apalagi biar hati ini tak berderik kelaparan. Mie instan, telur rebus, kopi, nasi campur, keripik singkong lima bungkus, dan entah makanan apalagi yang sudah kulahap untuk menenangkan nyeri dihati ini. Mereka seolah berkampanye, demo besar-besaran meminta ku turun untuk mendengarkan mereka. Turun masuk kedalam tubuhku sendiri, kedalam organ-organ paling dalam. Mereka tak tahu, sulitnya menjadi aku, menjadi satu-kesatuan diriku itu. Aku harus mendengarkan tanganku, harus mengontrol kakiku, mulut, telinga serta mata yang seringkali bertengkar dengan kelopak. Namun, hati yang paling bijak. Dan saat ini aku tak punya nyali untuk turun dan menemuinya. Aku tak mau mendengarkan.

Aku tak tahu harus melakukan apa. Aku juga tak sanggup jika hal yang kupikirkan, hal yang sering berkelebat dalam lamunan sewaktu aku sedang duduk sendiri  memang benar adanya. Itu impianku, ada yang salah? Pilihanku tak tepat? Pertanyaan-pertanyaan itu berdering minta dijawab. Namun, tak ada seseorang, tak ada benda yang bisa aku ajak bicara. Hanya hati yang sedang duduk manis dalam sanubari. Menungguku pulang dari permainan petak umpet antara diriku dan pikiranku sendiri. Aku terlalu pengecut untuk mendengarkan.

Melawan diri sendiri memang butuh kekuatan yang besar. Aku harus turun, harus menemuinya.

“hati bukan kartu skor. Tak ada menang, tak ada kalah. Kau masih punya pilihan.” 

Selasa, 08 Maret 2016

Teh Tawar #cerpen



Saat itu pukul delapan. Kau menelponku tiba-tiba. Kau menanyakan aku sedang berada dimana. aku sedang di apartemen, jawabku. 

Jangan kemana-mana, sepuluh menit lagi aku di depan pintu apartemenmu.

Oke, ada apa? Tanyaku. Tak kau jawab. Hanya terdengar nada terputus diujung sana.

Tak perlu kau jawab, aku sudah tahu apa yang akan terjadi, lebih tepatnya apa yang akan kau ucapkan. Sudah lebih dari empat minggu kau tak menghubungiku. Menghubungi seperti biasa. Kalimat-kalimat sms mu terihat aneh akhir-akhir ini. Aku tahu akan ada sesuatu yang terjadi. Tapi aku tak terlalu memikirkannya. Itu terlalu menyakitkan.

20.10

kau masih belum datang. Jantungku berdegup menunggumu. Dengan gugup aku memandang cermin di pojok ruang. Ah, wajahku amat kacau. Ada lingkaran hitam di bawah mataku. Akhir-akhir ini aku memang tak bisa tidur nyenyak. Banyak sekali yang aku pikirkan. Tugas akhir misalnya, hampir membuatku gila.

Dengan malas aku pergi ke kamar mandi, berharap dengan mencuci muka, wajahku yang berantakan ini tak terlalu terlihat menyedihkan. Aku tak pandai merawat wajah, tapi aku bersyukur wajah yang sedang kupandangi di depan cermin ini adalah wajah milikku.

20.20
 
suara ketukan pintu. Itu kau. Dengan sedikit berlari aku membuka pintu, kau dengan kemeja biru dan celana jeans hitam yang sudah mulai pudar terlihat basah. Aku hanya memandangmu,

Di luar hujan, dan aku malas pakai jas hujan.

Kau menjawab seakan aku bertanya. 

Kau langsung duduk di kursi yang biasanya kau duduki. Kali ini aku tak duduk disampingmu, aku memilih kursi di depanmu. Dulu, saat aku memilih duduk disini, kau selalu merengek, meminta dengan manja agar aku duduk disampingmu. Lalu, dengan malas yang disengaja aku beralih duduk disampingmu. Kali ini, kau tak merengek, bahkan kau terlihat nyaman saat aku memilih kursi yang terletak jauh darimu. Jauh dari jangkauanmu.

Kemana saja? Kenapa sulit sekali menghubungimu? Tanyaku.

Aku sibuk akhir-akhir ini. kau tahu itu. banyak sekali pekerjaan yang harus aku selesaikan.

Kau bosan, aku tahu. Kau hanya tak mampu mengucapkannya bukan? Atau kau tak mau dianggap laki-laki pecundang?.


Hahaha

Lihatlah kau tertawa. Aku tertawa. Kita tertawa. Tapi, dipelupuk matamu aku tahu, kau sedang menertawakan kebohongan. Sayang, kau tak pandai berbohong.
Aku diam saja memandangmu.

Bagaimana kabarmu?

Aku jawab baik-baik saja. Lihat, aku tambah gemuk, tambahku. Lalu kau mengangguk mengiyakan. Matamu melihat sekeliling ruangan. Tatapanmu asing. Aku tahu yang sedang kau pikirkan. Jangan pernah meremehkan insting seorang perempuan, sayang. Tapi, Aku tak mau menanggapi pikiran ku tentangmu kali ini. saat ini aku hanya perlu duduk dan memandangmu, aku hanya perlu menikmati kebohongan dan menunggu dengan sabar bagaimana akhir dari sandiwara ini.

Akan ku buatkan kau kopi, kataku.

Tidak, teh saja, aku sedang malas minum kopi.

Lihatlah, kau sungguh berbeda hari ini, sayang, kataku.

Kau selalu bawa perasaan.

Aku beranjak pergi dari kursiku. Pergi ke dapur dan membuatkanmu teh.

Tak usah pakai gula.

Aku terdiam beberapa detik di tempatku. Kau kenapa? Tanyaku. Bukankah kau penggemar gula? Imbuhku.

Aku sedang tak suka dengan gula. Aku ingin teh tawar saja.

Aku sengaja berlama-lama di dapur. Aku ingin menyembunyikan kegugupan ku. aku sungguh takut dengan apa yang akan ku dengar sebentar lagi. Kau tahu sayang, menjadi perempuan yang tegar dan mandiri tak selalu menyenangkan. Aku tahu, kau tak suka dengan perempuan yang selalu bergantung dengan laki-laki. Dan sialnya, sewaktu kencan pertama kita dulu aku mengiyakan pernyataanmu itu. Dan aku tak mau nampak pecundang didepanmu.

Aku membuat teh untuk mu dengan gelas yang menurutku paling indah. Ada sepasang manusia di gelas itu. wajahnya tak terlalu jelas, samar. Gelas itu berwarna merah muda. Salah satu warna favoritmu. Aku membuat segelas teh tawar dengan amat perlahan. Sesempurna mungkin. Selama mungkin.

Kau masih lama?

Oh, sayang, suaramu terdengar tak sabar. Dengan nafas berat aku kembali ke ruang depan sambil membawa segelas teh tawar untukmu.

Wajahmu cemas, namun kau masih saja mencoba untuk tersenyum.
Sayang, jangan dipaksakan. Melihatmu seperti itu membuatku lebih merana.

Aku diam.

Kau juga diam.

Kenapa hanya satu cangkir?

Karena aku tahu sayang, kau sedang tak ingin berlama-lama disini, jawabku asal.

kau tahu itu tidak benar, aku hanya sedang terburu-buru.

Lalu, ada apa? Tanyaku.

Kau masih diam saja.

Gak mungkin kan kamu datang hujan-hujan begini hanya untuk minum teh tawar?


Emm, Aku datang kesini untuk menjawab pertanyaanmu tempo lalu.

Apa? Tanyaku.

Iya, lebih baik kita akhiri saja.

Kenapa?


Kau masih tanya kenapa? Kau sendiri kan yang mengatakan hubungan ini tak mungkin bertahan lama? Kau juga yang selalu mengatakan kalau aku kekanakan? Iya kan? Kau juga yang selalu mengeluh? Kau juga bilang kalau sebenarnya kau sudah tak tahan, sudah jenuh, iya kan?

Mulutku refleks membuka. Ingin menjawab. Tapi taka da bunyi yang keluar. Mengapa kata-kata justru hilang pada saat seperti ini?

Aku tak mampu menjawab. Sayang, oh, maafkan aku, aku hanya sedang marah saat itu. kau tahu sendiri, aku selalu begitu kalau aku benar-benar sendiri dan membutuhkan seseorang disampingku, sialnya kita berjarak, tak mudah untuk merasakan pelukanmu disisiku.

Tapi kata-kata itu tak mampu keluar dari mulutku.

Pandangan mata kita yang sedari tadi berlari-lari mulai berani menemukan satu sama lain. Rasanya kita sama-sama tahu, entah kapan lagi tatapan seperti ini terjalin.

Ngomong dong!

kau sudah menemukan perempuan lain? Tanyaku spontan. Dengan sekuat tenaga aku mencoba menatap matamu. Iya, aku harus tahu, apa yang membuat dirimu seperti ini. Aku mengenalmu, sayang. Kau telah menemui perempuan lain.

Jangan mengalihkan pembicaraan!

Jangan pernah berbohong dengan mata itu sayang. Aku tahu hubungan ini harus diakhiri. Aku tak akan marah kalau kau menyalahkanku, memang benar aku yang terlalu banyak melakukan kesalahan, terlalu sering menyakitimu. Ya, aku tahu, kau telah menemukan perempuan yang mungkin kau idamkan, sesuai dengan permintaan keluarga besarmu.

Iya, aku jenuh, kataku. Aku sudah muak dengan hubungan ini. Tentu saja aku bohong,

Iya? Benar?

Aku diam saja.

Kau lalu berdiri mengambil handphone mu, wajahmu terlihat sedih, tapi juga ada rasa kemenangan disana. Ya, kau lega kan kita berpisah?

Kau akan menyesal…

Mungkin, kataku.

Lalu kau pamit pergi. Kau menutup pintu apartemen dengan perlahan. Kau terobos hujan malam-malam.

Aku masih terdiam duduk di kursi. Sayang, kau bahkan tak mencicipi teh tawarmu.