Selasa, 15 September 2015

Cong Kenek


Lupa Kalau Berangkat dengan Suami

Sudah tua, penyakit lupa biasanya memang suka menyergap. Tapi, kalau lupa dengan suami saat berpergian, bisa berabe. Salah-salah, suami bisa ilang beneran.

Hubungan suami istri Cong Kenek dengan Yu Tub sudah tiga puluh lima tahun berjalan. Masa-masa romantis sudah tidak lagi ada. Anak pun sudah tiga, dan cucu satu. Hidupnya kini datar-datar saja tanpa ada warna.

Apalagi semua anaknya sudah jarang di rumah. Anak pertama dan kedua sudah menikah, sedangkan anaknya yang ketiga masih kuliah di kota tetangga, Jember. Tidak ada lagi yang menghibur mereka dalam hari-harinya. Mungkin hanya pekerjaan Cong Kenek saja yang membuatnya masih mau bergerak, sebagai tukang jahit berusia, 55 tahun.

Yu Tub juga tidak berbeda jauh dengan Cong Kenek. Mereka dulunya dipertemukan oleh keahlian yang sama, yaitu tukang jahit. Antara tukang jahit, pada waktu mereka muda, saling bantu ketika ada pesanan, dan saling mengarahkan kalau pas ada pelanggan yang tidak lagi bisa diatasi sendiri.

Berawal dari situlah Cong Kenek dan Yu Tub saling memadu kasih. Masa muda mereka habiskan dengan penuh romantisme. Segala macam kelakar dan guyonan mungkin sudah habis waktu mereka belum mendapatkan seorang anak. Buktinya, kini mereka tidak lagi punya guyonan, malah terkesan saling melupakan.

Suatu hari Cong Kenek dan Yu Tub ingin mengunjungi anak-anak mereka di kota tetangga itu. Cong Kenek merasa sangat rindu dengan anaknya yang paling bungsu. Karena Cong Kenek merasa, anaknya yang paling bungsu, yaitu Sri, mirip sekali dengan Yu Tub sewaktu masih muda. Penuh dengan canda, dan selalu membuat orang di sekitarnya ceria. Apalagi paras cantik Sri yang menurutnya bisa membuat hati Cong Kenek bangga.

Berangkatlah Cong Kenek dan Yu Tub bersama dengan naik bus. Karena kebetulan sepeda mereka satu-satunya dibawa oleh Sri kuliah. “Akeh acara teng kampus pak, tak beto nggih?” kata Sri waktu meminta izin ke Cong Kenek. Ya mau tidak mau Cong Kenek mengizinkan. Toh, sebenarnya Cong Kenek tidak begitu membutuhkan sepedanya.

Cong Kenek dan Yu Tub tidak berjalan bergandengan. Malahan Cong Kenek berjalan jauh di depan Yu Tub. Saat naik bus pun, Cong Kenek tidak sedikitpun melirik Yu Tub. Dan di atas bus, keduanya duduk terpisah. Cong Kenek jauh di depan, sedangkan Yu Tub di belakang. “Halah iyo wes pak,” batin Yu Tub yang cuek.

Saat dimintai tiket bus, Cong Kenek menunjuk ke arah Yu Tub. “Ndek buri mas. Kae lho sing nggowo kudung abang,” kata Cong Kenek ke kondektur.

Yu Tub pun sudah paham dengan itu. Biasanya juga seperti itu. Karena yang memegang semua keuangan adalah Yu Tub. Termasuk biaya kuliah untuk Sri.

Saat bus sudah sampai di tempat tujuan, Cong kenek tertidur. Yu Tub juga kaget, karena sewaktu diteriaki kondektur, dia baru bangun. Yu Tub pun langsung saja turun, tanpa menunggu suaminya, Cong Kenek.

Yu Tub berjalan sendirian ke rumah anaknya yang kedua, Yu Nah. Dia bertemu dengan Sri dan Yu Nah, yang sudah menunggu kedua orang tuanya itu. Sri pun sumringah melihat ibunya datang membawa oleh-oleh dari rumah. “Lho kok dewean buk? Bapak pundi?” tanya Sri.

Yu Tub malah menjawab seolah-olah dia memang berangkat sendirian. “Lha kan pancen dewean,” kata Yu Tub.

Sri kebingungan mendengar jawaban ibunya itu. Padahal sebelum kedua orang tuanya itu berangkat, jelas sekali ibunya menelepon Sri akan berangkat dengan bapaknya, yaitu Cong Kenek. “Lho jare bareng bapak mau?” tanya Sri memastikan.

Yu Tub terlihat agak berpikir keras. Kemudian dia menepuk kepalanya sendiri. “Lah iyo, aku mau kan karo bojoku yo? Lho endi bojoku iki? Waduuh,” kata Yu Tub.

Yu Tub pun menceritakan kepada anaknya itu kalau mereka berdua tidak satu tempat duduk. Cong Kenek di depan, sedangkan Yu Tub di belakang. “Waduh piye iki Sri? Bapakmu ora nggowo hape pisan,” kata Yu Tub bingung.

Sri dan Yu Nah  pun kemudian mencari Cong Kenek di terminal. Mereka mutar-muter dengan sepedanya, tapi tidak ketemu. Ke rumah pakdenya, juga tidak ada. “Lah yo wes lah. Ayo balik wae enteni nang omah wae,” kata Yu Nah.

Sementara itu, Cong Kenek ternyata sedang berjalan menuju rumah Yu Nah. Yu Tub melihat Cong Kenek tepat di halaman rumah Yu Nah. “Heh! Teko ngendi pak?” tanya Yu Tub.

Keturon aku mau,” kata Cong Kenek datar. Tidak ada yang dipermasalahkan. Dan tidak ada yang diperdebatkan oleh Cong Kenek dan Yu Tub. Peristiwa itu menjadi hal yang wajar bagi mereka berdua. Tapi saat Sri datang, rumah Yu Nah jadi rame. “Lha piye kok bapak dilalekno iki buk?” kata Sri.

Cong Kenek menimpali sebelum Yu Tub menjawab. “Lha wes tuwek ngene, yo lalian nduk,” katanya. (ras)

Berangkat Bareng tapi Merasa Sendirian

***

Tulisan ini dari mas Dian Teguh Wahyu Hidayat. katanya, terinspirasi dari cerita keluarga saya dirumah. Tulisan ini juga dimuat di salah satu koran yang tak jauh dari rumah. hahaha, terimakasih sudah dibuat tulisan ya mas. Ya, meskipun kata emak saya ini gak terlalu sama dengan cerita aslinya. Tapi, lumayan bikin emak ketawa sendiri. :) 

2 komentar: