Sabtu, 28 Maret 2015

Ucapan yang Terlambat

Saya tak tahu teman macam apa saya ini. Bayangkan, setiap kamu berulang tahun saya sama sekali tak pernah memberikan kado yang pantas. Buru-buru yang pantas, kasih aja enggak. Mungkin kamu bosan mendengarnya. Alasan yang saya berikan terlalu klise. Setiap tahun, setiap mendekati hari ulang tahun mu. saya selalu memikirkan kado macam apa yang cocok untukmu. Terlalu banyak hal yang ada di dalam pikiran saya sehingga hadiah hanya berupa angan.

Saya yakin, keluargamu telah memberikan hadiah yang lebih dari cukup. Belum lagi teman-temanmu yang lain, hadiah macam kue tart plus kejutan-kejutannya tentu saja sudah menghiasi wajahmu hari ini. profil picture-mu di salah satu aplikasi komunikasi modern sudah  menjelaskannya.

Apa yang bisa saya berikan pada ulang tahunmu kali ini? saya benar-benar tidak tahu. saya terlalu banyak janji. Yang berakhir di tempat sampah karena selalu tak jadi. Saya tak punya apa-apa. Saya bukan sahabat best ever. Kita hanyalah dua orang yang tidak sengaja bertemu. Kita hanyalah dua orang yang terkadang memiliki pemikiran, pemahaman yang sama dalam beberapa hal dalam menyikapi suatu yang tak rumit namun terkesan dirumit-rumitkan.

Lalu, bagaimana dengan Doa? Ah, sekali lagi orangtuamu lebih hebat dalam hal ini. mereka mempunyai doa yang sangat tulus untukmu. Doa dari orang-orang yang mencintaimu tentu sudah lebih dari cukup untuk membuat salah satu impian besarmu terwujud. doa yang saya berikan terlalu murah. Tak sebanding. Saya juga bukan nabi, yang dengan sekali ucap permohanan dapat dikabulkan. Saya hanya manusia angkuh dan sombong. Tak sempurna. Jadi mohon, jangan meminta saya untuk mendoakanmu.

Karena saya tahu, saya tak mampu memberikan apa-apa padamu. Di hari ulang tahunmu ini, Ijinkan saya, meminta sesuatu: berusahalah mewujudkan doa-doa yang mereka ucapkan padamu. Buatlah doa-doa yang mereka panjatkan terkabul. Berusahalah. Kamu sudah umur 21 tahun. Tentu bukan angka yang sedikit lagi. Mengingat semakin dekat juga dirimu dengan tanah. Ulang tahun bukan sesuatu yang patut dibanggakan, sayang. Dengan umurmu yang semakin menipis berusahalah membuat doa-doa itu terkabul. Karena kamu sendiri yang menjalankan hidupmu. Bukan orangtuamu, bukan temanmu, pacar, apalagi saya.

Saat kamu merasa sendiri dan terpuruk, ingatlah, kamu bisa sesekali mempergunakan saya. Yah, setidaknya saya bisa berguna untuk orang lain. Peh, saya tidak melulu dibelakangmu, didepan atau disampingmu. Maka, jika kamu membutuhkan saya kamu hanya perlu katakan, “cuk, nang ndi koen?” 

Jumat, 27 Maret 2015

Mahasiswa, Agent of Silence!



"Mungkin semua itu terjadi karena penyesalan yang begitu dalam atas pembunuhan yang dia lakukan pada waktu itu. Karena rasa penyesalan yang begitu dalam, saat memperagakan pembunuhan itu, (mereka) seperti mati rasa," ujar Adi


Begitu kiranya kalimat yang keluar dari mulut Adik Ramli, Adi, yang saya tangkap saat menonton film karangan Joshua Oppenheimer kemarin malam. Sebenarnya sudah kedua kalinya saya menonton film Senyap (The Look of Silence). Tapi, sengaja saya menonton sekali lagi karena saya tak sempat merangkum nya menjadi tulisan.


Film ini menceritakan tentang usaha Adi, si Tukang kacamata keliling dalam mengungkap sejarah tentang pembantaian simpatisan PKI. Adi adalah adik dari Ramli, salah satu korban pembantaian 1965-1966 di salah satu desa perkebunan terpencil di Sumatera Utara. Lahir pasca pembantaian 1965-1966, Adi tumbuh dalam keluarga yang secara resmi dinyatakan "tidak bersih lingkungan" karena kakaknya, Ramli, dianggap simpatisan PKI. Bersama Adi, Oppenheimer mengumpulkan para korban dan penyintas pembantaian 1965-1966, mendokumentasikan kesaksian mereka tentang sejarah pahit itu.


Banyak hal sebenarnya yang masih belum terungkap dalam film tersebut dan masih banyak hal yang membuat saya bertanya-tanya. Siapa sebenarnya Joshua Oppenheimer? Siapa yang berada dibalik pembuatan dan penayangan film Senyap? Apa tujuan mereka? Amankah Adi sekeluarga? Ah, tentu saja jika hal ini dibahas bakal terlalu jauh.


Dari film ini saya menjadi teringat akan hal yang hampir sama persis dengan apa yang saat ini kita alami. Kita? Iya, para mahasiswa yang merasakan perasaan yang sama dengan saya tentunya. Secara tak sadar kita sebagai mahasiswa saat ini seakan di Senyap kan. Mulut dan mata kita dibungkam. Tak percaya? Lihat saja sekarang, peraturan-peraturan yang dibuat oleh orang-orang yang menganggap dirinya sebagai orang tua dilaksanakan secara sepihak. Mereka selalu berdalih bahwa kebijakan murni untuk kebaikan kita, mahasiswa. Beranggapan bahwa kita adalah anak-anak mereka. Mulai dari pembatasan jam malam. Penggunaan gedung Kegiatan mahasiswa di hari Sabtu dan Minggu dibatasi. Sekret hanya digunakan untuk kantor. Dan dana kegiatan mahasiswa dipotong besar-besaran.


 Sedangkan kita? Disibukkan dengan dunia akademis yang akhirnya membuat kita lalai dan melupakan hal-hal sekitar. Yang secara tidak sadar sebenarnya menciptakan kita sebagai mesin produksi. Kita yang diiming-imingi bahwa patuh dan taat akan selalu menuju sebuah kesuksesan besar. 


Mahasiswa adalah agent of change, kata dosen. Mahasiswa adalah agent of control, kata kakak-kakak ospek kemarin. Hal ini tak lebih dari slogan, umbul-umbul, janji palsu yang ditawarkan untuk meningkatkan kepopuleran, menarik masa. Faktanya, manusia yang meneriakkan panji-panji macam itu saat ini tak bisa berbuat apa-apa. Menyerah karena takut tak cepat lulus jika membangkang. 


Hampir sama persis dengan apa yang dikatakan oleh adi di Film itu, “Mungkin semua itu terjadi karena penyesalan yang begitu dalam atas pembunuhan yang dia lakukan pada waktu itu. Karena rasa penyesalan yang begitu dalam, saat memperagakan pembunuhan itu, (mereka) seperti mati rasa”. Iya, benar. Mungkin mereka yang mengganggap dirinya orangtua merasa bersalah karena belum mampu menjadi orang tua yang baik bagi kita. Mereka paham bahwa kebijakan yang mereka tawarkan mengkebiri kreatifitas kita sebagai mahasiswa dan peraturan yang mereka terapkan selalu sepihak. Padahal mereka sendirilah yang mengatakan bahwa Negara kecil ini menerapkan sistem Demokrasi. Mungkin hal tersebut menjadi sebuah penyesalan yang sangat dalam, sehingga saat ini mereka (yang selalu mengklaim dirinya adalah orang tua) mati rasa!  


            “Jika mata dan mulut kita dibungkam maka pena yang berbicara!” (saya lupa kalimat ini milik siapa, hehehe)