Saat itu
pukul delapan. Kau menelponku tiba-tiba. Kau menanyakan aku sedang berada
dimana. aku sedang di apartemen, jawabku.
Jangan kemana-mana, sepuluh menit
lagi aku di depan pintu apartemenmu.
Oke, ada
apa? Tanyaku. Tak kau jawab. Hanya terdengar nada terputus diujung sana.
Tak perlu kau jawab, aku sudah tahu apa yang akan terjadi, lebih tepatnya apa yang akan kau ucapkan. Sudah lebih dari empat minggu kau tak menghubungiku. Menghubungi seperti biasa. Kalimat-kalimat sms mu terihat aneh akhir-akhir ini. Aku tahu akan ada sesuatu yang terjadi. Tapi aku tak terlalu memikirkannya. Itu terlalu menyakitkan.
20.10
kau masih
belum datang. Jantungku berdegup menunggumu. Dengan gugup aku memandang cermin
di pojok ruang. Ah, wajahku amat kacau. Ada lingkaran hitam di bawah mataku.
Akhir-akhir ini aku memang tak bisa tidur nyenyak. Banyak sekali yang aku
pikirkan. Tugas akhir misalnya, hampir membuatku gila.
Dengan malas
aku pergi ke kamar mandi, berharap dengan mencuci muka, wajahku yang berantakan
ini tak terlalu terlihat menyedihkan. Aku tak pandai merawat wajah, tapi aku
bersyukur wajah yang sedang kupandangi di depan cermin ini adalah wajah
milikku.
20.20
suara ketukan pintu. Itu kau. Dengan sedikit berlari aku membuka pintu, kau
dengan kemeja biru dan celana jeans hitam yang sudah mulai pudar terlihat
basah. Aku hanya memandangmu,
Di luar hujan, dan aku malas pakai
jas hujan.
Kau menjawab
seakan aku bertanya.
Kau langsung
duduk di kursi yang biasanya kau duduki. Kali ini aku tak duduk disampingmu,
aku memilih kursi di depanmu. Dulu, saat aku memilih duduk disini, kau selalu
merengek, meminta dengan manja agar aku duduk disampingmu. Lalu, dengan malas
yang disengaja aku beralih duduk disampingmu. Kali ini, kau tak merengek,
bahkan kau terlihat nyaman saat aku memilih kursi yang terletak jauh darimu.
Jauh dari jangkauanmu.
Kemana saja?
Kenapa sulit sekali menghubungimu? Tanyaku.
Aku sibuk akhir-akhir ini. kau tahu
itu. banyak sekali pekerjaan yang harus aku selesaikan.
Kau bosan,
aku tahu. Kau hanya tak mampu mengucapkannya bukan? Atau kau tak mau dianggap
laki-laki pecundang?.
Hahaha
Lihatlah kau
tertawa. Aku tertawa. Kita tertawa. Tapi, dipelupuk matamu aku tahu, kau sedang
menertawakan kebohongan. Sayang, kau tak pandai berbohong.
Aku diam
saja memandangmu.
Bagaimana kabarmu?
Aku jawab
baik-baik saja. Lihat, aku tambah gemuk, tambahku. Lalu kau mengangguk
mengiyakan. Matamu melihat sekeliling ruangan. Tatapanmu asing. Aku tahu yang
sedang kau pikirkan. Jangan pernah meremehkan insting seorang perempuan, sayang.
Tapi, Aku tak mau menanggapi pikiran ku tentangmu kali ini. saat ini aku hanya
perlu duduk dan memandangmu, aku hanya perlu menikmati kebohongan dan menunggu
dengan sabar bagaimana akhir dari sandiwara ini.
Akan ku
buatkan kau kopi, kataku.
Tidak, teh saja, aku sedang malas
minum kopi.
Lihatlah,
kau sungguh berbeda hari ini, sayang, kataku.
Kau selalu bawa perasaan.
Aku beranjak
pergi dari kursiku. Pergi ke dapur dan membuatkanmu teh.
Tak usah pakai gula.
Aku terdiam
beberapa detik di tempatku. Kau kenapa? Tanyaku. Bukankah kau penggemar gula?
Imbuhku.
Aku sedang tak suka dengan
gula. Aku ingin teh tawar saja.
Aku sengaja
berlama-lama di dapur. Aku ingin menyembunyikan kegugupan ku. aku sungguh takut
dengan apa yang akan ku dengar sebentar lagi. Kau tahu sayang, menjadi
perempuan yang tegar dan mandiri tak selalu menyenangkan. Aku tahu, kau tak
suka dengan perempuan yang selalu bergantung dengan laki-laki. Dan sialnya,
sewaktu kencan pertama kita dulu aku mengiyakan pernyataanmu itu. Dan aku tak
mau nampak pecundang didepanmu.
Aku membuat
teh untuk mu dengan gelas yang menurutku paling indah. Ada sepasang manusia di
gelas itu. wajahnya tak terlalu jelas, samar. Gelas itu berwarna merah muda.
Salah satu warna favoritmu. Aku membuat segelas teh tawar dengan amat perlahan.
Sesempurna mungkin. Selama mungkin.
Kau masih lama?
Oh, sayang,
suaramu terdengar tak sabar. Dengan nafas berat aku kembali ke ruang depan
sambil membawa segelas teh tawar untukmu.
Wajahmu
cemas, namun kau masih saja mencoba untuk tersenyum.
Sayang,
jangan dipaksakan. Melihatmu seperti itu membuatku lebih merana.
Aku diam.
Kau juga
diam.
Kenapa hanya satu cangkir?
Karena aku
tahu sayang, kau sedang tak ingin berlama-lama disini, jawabku asal.
kau tahu itu tidak benar, aku hanya
sedang terburu-buru.
Lalu, ada
apa? Tanyaku.
Kau masih
diam saja.
Gak mungkin
kan kamu datang hujan-hujan begini hanya untuk minum teh tawar?
Emm, Aku datang kesini untuk menjawab
pertanyaanmu tempo lalu.
Apa?
Tanyaku.
Iya, lebih baik kita akhiri saja.
Kenapa?
Kau masih tanya kenapa? Kau sendiri
kan yang mengatakan hubungan ini tak mungkin bertahan lama? Kau juga yang
selalu mengatakan kalau aku kekanakan? Iya kan? Kau juga yang selalu mengeluh?
Kau juga bilang kalau sebenarnya kau sudah tak tahan, sudah jenuh, iya kan?
Mulutku
refleks membuka. Ingin menjawab. Tapi taka da bunyi yang keluar. Mengapa
kata-kata justru hilang pada saat seperti ini?
Aku tak
mampu menjawab. Sayang, oh, maafkan aku, aku hanya sedang marah saat itu. kau
tahu sendiri, aku selalu begitu kalau aku benar-benar sendiri dan membutuhkan
seseorang disampingku, sialnya kita berjarak, tak mudah untuk merasakan
pelukanmu disisiku.
Tapi
kata-kata itu tak mampu keluar dari mulutku.
Pandangan
mata kita yang sedari tadi berlari-lari mulai berani menemukan satu sama lain.
Rasanya kita sama-sama tahu, entah kapan lagi tatapan seperti ini terjalin.
Ngomong dong!
kau sudah
menemukan perempuan lain? Tanyaku spontan. Dengan sekuat tenaga aku mencoba
menatap matamu. Iya, aku harus tahu, apa yang membuat dirimu seperti ini. Aku
mengenalmu, sayang. Kau telah menemui perempuan lain.
Jangan mengalihkan pembicaraan!
Jangan
pernah berbohong dengan mata itu sayang. Aku tahu hubungan ini harus diakhiri.
Aku tak akan marah kalau kau menyalahkanku, memang benar aku yang terlalu
banyak melakukan kesalahan, terlalu sering menyakitimu. Ya, aku tahu, kau telah
menemukan perempuan yang mungkin kau idamkan, sesuai dengan permintaan keluarga
besarmu.
Iya, aku jenuh, kataku. Aku sudah muak dengan hubungan ini. Tentu saja aku bohong,
Iya? Benar?
Aku diam
saja.
Kau lalu
berdiri mengambil handphone mu, wajahmu terlihat sedih, tapi juga ada rasa
kemenangan disana. Ya, kau lega kan kita berpisah?
Kau akan menyesal…
Mungkin,
kataku.
Lalu kau
pamit pergi. Kau menutup pintu apartemen dengan perlahan. Kau terobos hujan
malam-malam.
Aku masih
terdiam duduk di kursi. Sayang, kau
bahkan tak mencicipi teh tawarmu.