Saya tak tahu apakah harus bersyukur atau mengeluh. Pagi itu,
saya berencana berangkat ke Jember menggunakan Bus. Sialnya, hampir satu jam
menunggu, bus tak juga muncul. Tak berapa lama, tiba-tiba ada mobil kijang
berhenti di depan saya. Bapak berumuran 50-an muncul menawarkan tumpangan. Ini gratis, pikir saya. Jelas saja, saya
senang. Bagaimana tidak? Uang saya tinggal dua puluh ribu rupiah. saya sudah
membayangkan bahwa tiga hari kedepan saya masih bisa makan.
Didalam mobil, terdapat kurang lebih empat mahasiswa. Saya duduk
dibelakang sendiri. Sekedar basa-basi dengan teman sebelah saya, ternyata dia
salah satu teman akrab sahabat saya di rumah, Nesa.Kami mulai mengobrol. Kemudian,
saya menyinggung masalah biaya kendaraan yang sedang kami tumpangi. Tentu saja
saya menanyakannya dengan mengetiknya melalui pesan teks via handphone. Ternyata, perempuan yang
duduk disebelah saya itu, juga tak tahu menahu mengenai biaya tumpangan. Katanya,
pokoknya ini ndak gratis mbak.
Mampus.
Saya langsung diam. Ah, mungkin tak lebih dari dua puluh ribu
pikir saya. Lha wong, naik bus aja Cuma lima belas ribu dari rumah.
Sampai terminal pakusari bapak berumuran 50-an itu berhenti
disalah satu toko 24 jam. Ah, mumpung si sopir lagi keluar saya memberanikan
diri bertanya biaya yang di patok pada perempuan yang duduk didepan saya.
Dua puluh lima ribu mbak, katanya.
Jedyer.
Otomatis saya panik. Uang saya Cuma dua puluh ribu rupiah.
minus lima ribu rupiah. saya bingung, saya melirik perempuan yang duduk
disebelah saya. Dengan memberanikan diri, dan membuang rasa malu jauh-jauh,
Boleh pinjam uang lima ribu rupiah
gak mbak?uang ku pas mbak, dua puluh ribu.
Perempuan di sebelah saya itu tersenyum,
gak usah pinjem mbak, turun di unmuh
aja bareng saya, biar bayarnya bareng, kali aja mbaknya gak dua puluh lima.
Oke deh, kata saya. Selanjutnya saya
memberikan uang dua puluh ribu saya kepada perempuan disebelah saya.
Sesampainya di Unmuh, bapak sopir 50-an itu membukakan pintu.
Dua orang pak, berapa? kata perempuan disebelah saya.
Lima puluh mbak,
Jeglek
Perempuan disebelah saya menyodorkan uang lima puluhan nya.
Pas ya pak.
Enggeh. Matur nuwun.
Matur nuwun, endasmu pak. Batin saya dalam.
Kemudian saya meminta nomor hanphone perempuan itu, saya
janji sepulang nanti saya bakal ganti. Saya sangat malu.
Gak usah mbaknya, kan udah temen.
Kalimat terakhirnya membuat saya terpana. Bagaimana mungkin,
dia menganggap saya teman? Padahal kenal saja baru tadi di mobil. Saya ucapkan
terimakasih, tapi tetap saja saya harus tahu nomor handphonenya. Saya harus
ganti.
Sebelum perempuan itu pergi, dia menawarkan untuk menunggu
teman yang menjemput saya di kosnya. Saya menolak. Karena saya tahu, teman yang
mau menjemput saya tak bakal datang.
Setelah itu, saya jalan kaki dari Unmuh sampai kampus.
Sambil mengumpat dalam hati,
Apes tenan!