Siang itu pukul dua. Aku lupa hari apa itu. Yang aku ingat
hari itu cerah dan saat itu hanya kuhabiskan untuk tidur di sekret plantarum. Amat
membosankan. Disebelahku seseorang laki-laki bertubuh kurus tinggi sedang
tertidur pulas. Dia tak mendengkur. Aku berjanji akan membangunkannya pukul
tiga. hanya itu yang ku ingat. Dia tertidur dengan wajah menghadap jendela. aku
tak hanya berdua saat itu. Ada satu lagi laki-laki di pojok ruang. Laki-laki
dengan rambutnya yang berantakan. Acak-acak. Kulitnya hitam bukan karena sinar
matahari, tapi karena tak pernah dirawat. Tak tersentuh sabun. Dia sedang asik
dengan komputer. Dia sangat sibuk. Dia memainkan musik keras-keras. Aku tak
ingat music apa, yang ku ingat music itu sangat mengganggu. Aku tak suka.
Aku tak memarahinya. Maksudku memarahi si laki-laki
berantakan itu. Aku hanya diam. Mengumpat didalam hati. Karena aku tahu sia-sia
saja mengomel padanya. Dia mungkin hanya diam. Atau menanggapi seperlunya. Aku tak
suka diabaikan. Maka aku memilih diam saja.
Sehari-hari aku menghabiskan waktu disekret. Kami dulu
menganggap itu adalah rumah. Rumah kedua. Pagi, sore, siang, malam. Apa yang
dilakukan? Tidak ada. Hanya mengobrol, bercanda, saling maki, saling caci. Menyenangkan?
Tentu sangat menyenangkan bagiku. Entah bagi mereka. Dulu aku percaya mereka
juga merasa senang. Sepertiku.
Saat ini, aku mulai ingat bahwa terkadang badut mebutuhkan
topeng dan riasan wajah yang sedemikian menor untuk mendapatkan perhatian. Kepercayaan
bahwa mereka adalah teman yang menghibur. mungkin kemarin lalu mereka hanya berpura-pura.
Pura-pura bercanda, pura-pura tertawa, pura-pura memaki. Oh, ini tentu saja
hanya ketakutanku saja. Tuhan, Semoga itu hanya ketakutanku saja.
***
Braaaak…
Suara pintu dibanting.
Aku menoleh,
“hay, Suopel, subebek, dedisu, yunus = asu! Loh, mana
subebek?” teriaknya. Dia perempuan dengan suara nyaring berisik.
“gak enek” kata si laki-laki berantakan tanpa menoleh.
“cok, jam piro iki?” bisik laki-laki di sebelahku.
“masih belum jam 3 kok” jawabku, sambil menengok jam yang
menggantung didinding diatas pintu sekret.
“asu, garai wong kaget pas turu!” kata laki-laki disebelahku.
Dia mengomel tak jelas. Kemudian berganti arah tidur. Dia membelakangiku. Aku sendiri
lupa aku sedang melakukan apa. Mungkin membaca majalah.
“lopo mas?” Tanya perempuan tadi pada laki-laki berantakan. Yang
kumaksud perempuan tadi adalah perempuan yang mendobrak pintu sekret.
Si laki-laki berantakan itu diam saja. Kenapa aku tahu? Karena
perempuan itu ngomel karena tak dijawab. Perempuan itu diabaikan. Aku terkikik
geli. Perempuan itu langsung membuka laptopnya dan asik sendiri. Aku diam saja.
Hari itu aku sedang malas untuk bicara. Jadi aku diam saja.
Setelah itu aku lupa. Aku tak ingat kejadian selanjutnya. Aku
benar-benar lupa. Hahaha hanya cerita sepele itu yang kuingat dengan jelas. Selebihnya
aku tak bisa menceritakannya. Terlalu banyak, hingga aku lupa memulainya
darimana.
***
Semalam, aku tak sengaja berpapasan dengan si laki-laki
berantakan. Dia menggunakan kaos kuning dan memakai sarung. dia selesai sholat.
Dia mengingatkanku kalau aku merindukannya. Aku merindukan mereka. Amat rindu.
Semalam, aku mengingat banyak hal. Kejadian masa lalu. Benar mungkin
apa yang dikatakan choi beberapa waktu yang lalu. Katanya, aku selalu mencintai
masalalu. Mengenang dan berharap kejadian itu bisa berulang.
Saat ini aku ingin sekali menyapa teman lamaku ini. seperti
sudah lama sekali aku tak bertemu dengan mereka. Lama sekali.
hai nus! Bagaimana kabarmu? Terkadang aku lupa untuk
memanggilmu ‘mas’. Saat ini tentu kamu sudah sering mandi. Sudah sering
tersentuh sabun. Sudah sering gosok gigi. Sudah ada yang mengingatkanmu bukan? Memarahimu
jika kamu lupa. Haha, Melihat dirimu rapi begitu, aku tahu kamu tak salah pilih
cari pendamping.
Bagaimana kuliahmu? Kata seseorang yang mengaku dirimu di BBm
mengatakan kalau kamu sedang menuju toga, Benarkah? Lama, tak mendengarkanmu
bercerita. ceritamu selalu saja berhasil meyakinkanku. Aku juga merindukan
nasihatmu. Meskipun aku selalu saja tak peduli. Setiap aku ada masalah aku
selalu tahu, bahwa kamu adalah tempat yang pas untuk berbagi. Sekarang, kita
jarang berkomunikasi. Seperti orang asing. Yang hanya saling menyapa “hai”. aku
tak suka. Tapi aku diam saja.
Kalau memang benar kabar bahwa kamu sebentar lagi akan
menikah, aku tentu akan sangat marah padamu nus. Aku marah karena tidak
mengetahuinya dari mulutmu sendiri. Aku mengganggapmu saudara, harusnya kamu
berkabar terlebih dahulu. Aku telah mengganggapmu lebih dari teman. Kita saudara.
Kamu dulu pernah mengatakannya bukan? Saudara tak seharusnya begitu.
***
Hai ded! Si laki-laki kurus tinggi. Kita
lebih sering bertemu. Walaupun, pertemuan kita tak seakrab dulu. kamu sekarang lebih
rapi. Lebih sering mandi daripada aku. Kamu paling sabar diantara yang paling
sabar menghadapi aku, dan tentu saja kami. Kami si Perempuan-perempuan
menyebalkan katamu.
***
Hei su! Ayo ngopi lagi.
Aku berjanji lain kali aku akan menulis lebih bagus dari ini.
***
Rumah kosong.
Sudah lama ingin dihuni.
Adalah teman bicara; Siapa saja atau apa
Jendela, kursi
atau bunga dimeja.
Sunyi, menyayat seperti belati
Meminta darah yang mengalir dari mimpi
(puisi Subagio Sastrowardoyo)