Selasa, 03 Juni 2014

Resensi Buku Pinjaman


Buku ini ada begitu saja didalam tas saya. Membuat saya heran. Aneh, sejak kapan saya meminjamnya? Catatan didalam nya tertulis jogja, 11 Juli 2008. Berarti waktu itu Saya masih kelas dua SMP. tentu saja, saya masih belum mengenal pemilik buku ini :p. walaupun begitu buku ini terkesan terawat dengan baik. Tapi saat buku ini ada di saya, sepertinya menjadi tidak begitu terawat lagi. Saya memang bukan peminjam yang baik. Maaf.

Waktu itu saya memang menginginkannya. Sewaktu acara travel writting bareng mas ayos. Saya sudah kepincut mendengar cerita-cerita feature yang ditulis shindunata ini. Saya tahu buku ini dari mas ayos. Buku yang tiba-tiba ada di tas saya ini berjudul Dari Pulau Buru ke Venezia. Dari situlah saya ingin belajar tulisan feature secara  mendalam. Shindunata membungkus cerita perjalanannya dengan apik, menggambarkan permukaan yang sederhana menjadi istimewa. Tulisan-tulisan didalamnya menceritakan pengalaman shindunata dengan nilai-nilai kemanusiaan yang tidak dibuat-buat. Lugu dan menyentuh. Shindunata seolah ingin mengatakan bahwa jurnalitistik tidak melulu berisi berita-berita tentang isu masa kini.  Berita yang sedang dibicarakan masyarakat luas. Tetapi seolah melihat realita dari sisi yang lain. Menceritakan kejadian-kejadian yang terkadang lengah dari penglihatan kita.

Buku ini terbagi menjadi enam bab. Mulai dari cerita dari pulau Buru, Pesta kematian di tanah toraja, tiga segi kehidupan di Bali, Sepuluh hari di RSJ Lali Jiwa, Menengok Negeri Jelapang Padi hingga Laporan dari Italia.

Pada bab pertama, menceritakan pengalaman Shindunata selama empat hari di pulau Buru. Menggambarkan kondisi dari pulau Buru pada masa itu.  Melihat sumber naskahnya tulisan ini dimuat pada tanggal 4 sampai 7 Januari 1978. Pada masa itu kita tahu, banyak orang dihinggapi kesan Inrehab Buru amat tertutup. Meskipun tanpa penggambaran secara visual atau foto, saya bisa membayangkan bagaimana kondisi Inrehab Buru. Shindunata menggambarkan nya secara jelas. Cerita kedua berkisah tentang keseharian para tahanan Inrehab Buru dan bagaimana mengatasi kerinduan para tahanan terhadap kampung halaman. Kisah selanjutnya menceritakan tentang pembangunan hotel Krusek oleh para petugas Inrehab Buru. Mereka bekerja siang dan malam seperti pada kisah Bandung-Bondowoso karena pembagunan hotel tersebut hanya membutuhkan waktu sehari-semalam. Sedangkan dua kisah terakhir lebih menceritakan saat-saat sepi jauh dari sanak keluarga, interaksi para tahanan politik dengan penduduk pulau Buru dan kisah romantik yang ada didalamnya. Dari sini saya mengerti, bahwa para tahanan pulau Buru tidak semuanya berlaku jahat. Bahkan beberapa tahanan membuat saya tersentuh. Mbah mitro misalnya yang buta aksara beliau tidak tahu apa kesalahan yang diperbuatnya hingga Ia dimasukkan kedalam hutan yang gelap gulita. Harapannya hanya satu, beliau ingin kembali ke Jawa melepas rindu kepada anak-istri nya.   

Bab kedua tentang Pesta Kematian di Tanah Toraja. Shindunata menceritakan perjalanan nya saat mengikuti proses pesta kematian di Tanah Toraja yang menurut saya sangat Khas dan tentunya, kejam. Upacara kematian di Toraja memang pemborosan yang berlebihan. Cerita pertama menggambarkan bentuk upacara kematian di Tanah Toraja. Cerita kedua dan ketiga, bercerita tentang perbedaan upacara Nek atta seorang bangsawan kaya raya di Toraja dengan upacara kematian Lai Kanan yang lebih terkesan sederhana. Kisah terakhirnya tentang upacara kematian toraja yang berlebihan. Pemborosan uang dan waktu.

Bab tiga adalah laporan shindunata di pulau Bali. Mulai dari berjudi sabung ayam, ditawari narkoba hingga dikira Mucikari seks komersial. Sepuluh hari bersama para penderita sakit jiwa di RSJ Lali Jiwa, Pakem, Sleman, DIY, dituangkan dalam Bab Empat. Pengalaman unik, lucu dan tragis bahkan ketakutan Shindunata ketika berhadapan dengan para pasien yang masih sering mengamuk dipaparkan dengan menarik. Cerita yang mengharukan datang dari sunarno. Sunarno mulanya adalah pemuda yang sopan dan penurut. Namun, itu berubah saat sunarno dituduh menyelewengkan dana pembangunan tugu di desanya. Pemuda malang ini menjadi korban dari kejujurannya sendiri. Sedangkan dua bab yang terakhir adalah kisah perjalan di Kedah, Malaysia (Bab 5) dan laporan  dari Italia (Bab 6).

Dua cerita shindunata yang membuat saya tersentuh ada pada Bab pertama dan keempat. Entah saya yang berlebihan atau tulisan Shindunata yang menyentuh. Kedua Bab tersebut sukses membuat mata saya sembab. Hei, terima kasih telah meminjamkan saya buku ini J

Senin, 02 Juni 2014

Asteoroid 568

Biasanya saya menghabisakan malam di Asteoroid 478. Tapi malam itu lain. Saya berada jauh. Malam itu hanya kami bertiga. Si beruang dan gigi kelinci. Ditemani satu bungkus martabak, terang bulan dan dua botol air mineral ukuran sedang. Seharusnya malam itu kami lebih banyak mengobrol. Mengobrol tentang apa saja. Tapi kenyataanya kami lebih banyak berebut makanan. Bodoh!

 Tempat ini tinggi, Beraspal, Tak ada atap, Berbentuk persegi panjang terbuka dan dingin jika malam. Dari sini saya bisa melihat bulan, bintang, langit malam, dan kota jember lebih jelas. Lebih jelas daripada melihat dari bawah. Tempat ini bisa dinikmati hanya sampai pada pukul 21.00. selebihnya, bakal banyak manusia yang lalu-lalang. Piknik bakal tidak menyenangkan lagi.

Akhir-akhir ini saya memikirkan tempat itu. Melihat langit merah jingga disamping kanan dan gelap disamping kiri saya. Meski terkadang momen macam ini membuat hati nyilu. Seperti ada kupu-kupu jahat yang masuk ke perut. Mengobok-obok hati, empedu dan lambung saya. Saya rindu tempat itu. Amat rindu.

Hei, kamu! Nanti saya akan ajak kamu kesana. Hanya berdua. Dari sore sampai malam pukul sembilan. Saat itu, kamu yang harus banyak bicara. Saya bakal diam. Terserah kamu mau ngobrol apa. Saya akan menyimak. Mendengar suaramu dan menikmati kota ini denganmu. Itu pun jika kamu mau.

Di Asteoroid 568. Kamu dimana?